**
Kau tau, aku membenci hujan ketika itu. Bagiku hujan adalah kesedihan. Karena aku tidak pernah merasakan bahagia seperti orang lain.
Hujan, rintik-rintik, membuat hatiku yang selalu bersenandung duka menjadi semakin nestapa.
Dalam pikirku, “dimana kamu?”
Setiap saat aku bertanya itu pada diriku satu-satunya.
Terbersit pula secuil senyuman jika otakku mulai membabi buta menghayalkan kejadian-kejadian indah yang mungkin terjadi antara aku dengan dia.
Yah, sekedar berhayal, walau terkadang sulit juga untuk menjadi lebih “nakal”.
Rintik hujan ini belum juga reda.
Aku berdiri disisi depan gedung tingkat tinggi tempat ku bekerja. Memandang ke langit..
Awan putih dan bangunan lain yang tinggi menjulang. Megah, pikirku. Lalu aku tersenyum lagi karena tingginya gedung-gedung itu tak setinggi impianku.
Dadaku sesak. Seperti orang yang tak bisa menjangkau udara untuk bernafas. Kugenggam erat balon orange di tanganku.
Di tali pengikat balon ku tulis sesuatu
“Kamu percaya akan takdir kan? karena aku percaya bahwa pesan ini akan sampai kepadamu”
Tulisan itu mewakili seluruh perasaanku yang bercampur kalut, sedih, duka, harapan, bahkan semakin memudarnya harapan bahwa dunia menjadi lebih adil untukku. Untuk diriku yang berada di ruang yang salah.
Seketika air mataku menetes. Aku merindukannya. Dan aku ingin berlari untuk sekedar melihat wajahnya yang tersenyum padaku.
Tapi kenapa hingga kini semua masih berada dalam bayang ilusi? Kapan dia muncul dalam nyataku?
Sekali lagi ku tatap langit, mendung masih dimana-mana dan hujan rintik masih menyerbu jalanan jakarta yang ramai tepat di depanku berdiri.
Aku menunggu. Ku teguhkan hatiku bahwa aku akan menunggu hingga hujan pergi agar balonku bisa melambung tinggi membawa pesan-pesan ajaibku padanya.
Ku tau Dia disana tidak pernah tidur. Balon dengan surat harapanku akhirnya ku lepas juga setelah 6 jam aku berdiri.
Ku tau balon ini akan sampai padanya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya.
**
RR