Sabtu sore begini biasanya ….
Aku jadi tersenyum-senyum sendiri kalo mengingat semua
memory tentang sabtu sore. Karena sebegitu banyaknya kejadian yang terjadi di
sabtu sore. Saat seperti ketika aku terduduk di ujung dermaga sambil
menghanyutkan perahu kertasku satu demi satu. Atau saat ketika aku menyusuri
jalan setapak di taman hutan rakyat itu. Sabtu sore ketika hanya ada aku dan
kedua malaikat di pundakku serta Sang Khalik di qalbuku.
Sabtu sore ini berbeda dengan yang lalu-lalu. Biasanya aku
bercengkrama dengan hijaunya hutan ataupun hembusan segar angin laut. Kali ini
aku hanya duduk manis di balik jendela tempatku bekerja. Rinai hujan tertumpah
di luar gedung. Secangkir teh manis hangat cukup sebagai teman untuk
menghabiskan sabtu soreku kali ini. Pandanganku tak pernah lepas dari rintik
hujan yang tercurah dari langit. Kira-kira ada berapa banyak tetes air yang
tumpah disana ya? Jutaan? Atau mungkin triliunan tetes air? Aku pasti gak
sanggup menghitungnya. Dan aku tersenyum lagi karena memikirkan pertanyaan itu.
Tentang sabtu sore, aku jadi teringat akan keajaiban yang
pernah terjadi hampir 11 tahun lalu. Tentang surat kaleng. Hehehee, surat
kaleng. Aku jadi ingin ketawa menyebut surat ku itu dengan sebutan surat
kaleng. Tapi memang benar kan, bila surat tanpa identitas pengirimnya bisa
disebut dengan istilah surat kaleng. *nyengir*
Saat itu, sabtu dini hari tanggal 4 Mei 2002. Aku berdoa
dengan sangat serius di sholat sepertiga malamku. Aku sudah menuliskan suatu
surat dan berharap agar Tuhan menyampaikan suratku itu kepada orang yang dituju
dengan cara yang ajaib. Karena bagiku tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan.
Sepanjang waktu di sekolah pada hari itu aku tidak bisa benar-benar fokus dengan materi pelajaran yang diberikan oleh guruku. Pikiranku
terus mengarah pada suratku itu. Pada niatku. Aku masih ragu dan merasa hal ini
sangat bodoh. Namun hatiku bersikeras bahwa semua ini akan baik-baik saja dan
pasti berhasil seperti semua angan yang telah aku pikirkan.
Tepat saat jam terakhir pelajaran hari itu berakhir, aku mulai
berkeringat dingin dan jantungku berdetak tidak karuan. Aku berjalan dengan
gontai menuju lapangan basket sekolahku yang terletak di sudut sekolah. Sesampainya
disana aku kembali terdiam cukup lama dengan surat ditanganku. Lapangan itu
sepi, tidak ada orang satupun. Aku bingung apakah terus melanjutkan niatku atau
tidak. Tapi akhirnya aku pasrah. Aku berjalan menuju tempat duduk dari marmer
yang ada di sudut lapangan basket itu. Sengaja aku memilih tempat duduk itu
karena aku cukup tahu tempat itu tidak pernah tersentuh oleh siswa. Aku meletakkan
surat itu di atas tempat duduk itu. Amplop surat yang polos, hanya bertuliskan
nama yang dituju tanpa embel-embel nama pengirimnya.
Hampir 10 menit aku berdiri di depan tempat duduk itu sambil
memandang surat itu. Dalam hati aku berdoa dengan kaku. ‘Tuhan aku percaya
dengan semua kuasaMU, aku percaya dengan mukzijatMU, aku percaya tidak ada yang mustahil bagiMU. Surat
ini sengaja aku letakkan ditempat ini karena menurutku ini adalah tempat yang
tepat. Tidak seorangpun familiar dengan tempat duduk ini. Dan saat ini langit
sudah cukup gelap, mungkin sebentar lagi akan hujan. Jadi menurut logikaku,
surat ini bila tidak diterbangkan angin pasti akan lapuk dan luruh terguyur
hujan. Namun aku percaya, atas ijinMU surat ini pasti akan sampai kepadanya
dengan caraMU yang ajaib.’
Dan begitulah. Aku meninggalkan lapangan basket itu dengan
lega. Sudah kupasrahkan semuanya. Sampai ataupun tidak sampai aku pasti bisa
menerimanya dengan lapang dada.
Senin besoknya, aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Berjalan
dengan tergesa-gesa menuju lapangan basket. Begitu tiba di depan tempat duduk
itu, kudapati surat itu sudah raib. Kucari kesekitarnya juga tidak ada. Mungkin
sudah tersapu angin, atau benar sudah luruh terkena hujan. Dan aku tidak
memikirkannya lagi setelah itu.
Tapi ternyata hal yang sudah mengendap di pikiranmu,
tiba-tiba bisa langsung tersulut lagi saat suatu percikan api kejutan terlontar
kepadamu.
Beberapa bulan setelah hari senin itu. Ketika aku sudah naik
ke kelas 3 dan berkumpul dengan beberapa teman sekelas yang baru. Salah seorangnya
menjadi temanku yang cukup dekat. Cukup sering saat jam istirahat sekolah kami
mengobrol di depan kelas. Hingga siang itu tiba-tiba dia mengutarakan
pertanyaan yang membuat telingaku seketika berdenging. ‘eh kamu dulu waktu
kelas 2 pernah kirim surat ke temenku ya?’ dan sejenak aku melongo karena
kaget. Kaget bahwa ternyata surat itu tidak raib dibawa angin ataupun lapuk
tersiram hujan. Tapi surat itu ada ditangan salah seorang manusia. Namun aku
cukup pandai berakting menutupi keterkejutanku.
‘Surat apa? Aku gak pernah kirim surat ke temenmu itu. Untuk
urusan apa juga aku kirim surat ke dia. Emang itu surat apa sie? Jadi penasaran.’
Aku cukup menjawab pertanyaan temanku itu dengan sangat rileks.
Diapun masih tetap gak percaya, ‘Ah gak mungkin, pasti itu
beneran kamu yang kirim surat.’
Akupun gak mau kalah ngotot dari dia, ‘Hadeehhh… surat
apa sie, koq jadi aku dituduh-tuduh gini?’
‘Jadi gini,’ temanku mulai bercerita tentang surat itu.
‘Dulu waktu kelas 2, pas hari sabtu itu aku sama sahabatku
lagi latihan basket di lapangan basket belakang sana. Nah, setelah hampir sejam
latihan, aku kecapekan terus gak sengaja lah duduk di kursi marmer pojokkan
itu. Padahal biasanya juga gak pernah mau duduk disitu. Taunya waktu mau duduk,
aku ngelihat ada surat di atas tempat duduk itu. Amplopnya polos hanya tertulis
nama temanku yang kebetulan satu kelas sama aku. Aku langsung berteriak manggil
sahabatku dan bernafsu untuk membuka surat itu. Namun sahabatku
melarangnya. Dia bilang gak baik kalo kita membaca hal yang bukan ditujukan
untuk kita. Dia menyarankan untuk memberikan surat itu kepada orang yang
dituju. Tanpa pikir panjang kami buru-buru pulang dan menuju rumah teman
sekelasku itu. Namun begitu sampai di depan rumahnya, kami gak berani masuk. Akhirnya
kami putuskan untuk mencari telepon umum di dekat rumahnya. Lalu kami telepon kerumahnya.
Tapi saying ternyata temanku itu tidak sedang berada di rumah karena dia lagi
bepergian ke Malang dan mungkin akan kembali minggu malam. Jadi kami harus
bersabar menunggu sampai hari senin pagi untuk memberikan surat itu kepadanya.’
Aku cukup mendengarkan dengan seksama tanpa memutus
ucapannya dengan sepatah katapun. Sebelum dia kembali melanjutkan ceritanya
setelah meneguk air minum karena kehausan hahaha.
‘Senin paginya, aku sudah tidak sabar menunggu teman
sekelasku itu datang. Dan tak lama begitu dia datang, aku langsung menghampiri
tempat duduknya dan menyerahkan surat itu. Dia sempat kaget dan bertanya itu
surat dari siapa. Aku bilang saja nemu di lapangan basket tapi aku gak berani
membukanya. Aku gak sabar pingin tahu isinya dan menyuruhnya untuk segera
membuka surat itu, namun dia menolaknya untuk membukanya disini. Dia mau baca
di tempat lain saja tanpa ada orang lain yang ikut baca surat itu. Aku sempet
protes dan tetap gak bisa mengubah keputusannya itu. Tapi dia janji nanti akan
memberi tahu isi suratnya kepadaku. Dia pergi gak begitu lama, terus kembali ke
kelas dan menghampiriku. Dia cerita kalo isi surat itu cuma bilang bahwa orang
yang bikin surat itu suka sama dia dan hari ini dia ulang tahun. Tapi gak ada nama
pengirimnya disitu.’
Sampai disitu aku mulai protes, ‘lah terus kenapa aku yang
dituduh kirim surat itu?’
‘Aku belum selesai cerita nie, dengerin dulu!’ katanya.
‘Dari situ, aku jadi penasaran pingin tahu siapa
pengirimnya. Aku tanya ke temenku itu, apa dia tahu siapa kira-kira
pengirimnya. Tapi dia bilang juga gak tahu, namun ada satu petunjuk di surat
itu. Pengirimnya ulang tahun hari senin itu. Lalu dia pergi untuk cari tahu
kira-kira siapa yang ulang tahun pas hari senin itu. Anehnya dia pergi gak
begitu lama dan kembali lagi kepadaku sambil berkata, hanya satu orang yang
berulang tahun hari senin itu. Dan kemudian dia menyebut namamu.’
‘Hah! aneh ya, kebetulan sekali. Iya, memang benar aku yang berulang tahun hari senin itu. Tapi
bukan aku yang mengirimnya.’ Dalihku membuat alibi.
‘Bisa saja mungkin ada orang yang sengaja membuat surat itu
dengan menjukkan identitas pengirimnya itu ke aku. Iya kan?’ alibiku semakin
kuat.
‘Iya juga sie, ya sudahlah mungkin memang bukan kamu yang
ngirim.’ Akhirnya dia kemakan alibiku.
Dalam hati aku berteriak. Ya Tuhan, rasanya aku pingin langsung sujud syukur saat itu.
Mukzijatmu nyata. Hal yang mustahil terbukti menjadi kenyataan. Aku seperti ingin
menangis. Doaku terkabul, Engkau sampaikan surat itu kepada orang yang dituju
dengan ijinMU. Butuh beberapa waktu untuk mengetahui sesuatu yang sudah Engkau
wujudkan. Saat itu rasanya api yang sudah redup seperti ditiup dengan oksigen
hingga nyalanya kembali membara.
Aku tidak menyangka surat cinta itu sampai. Tepat waktu. Persis
seperti dalam doa dan anganku.
Surat cinta untukmu, keajaibanku yang nyata. Memory akan
kejadian ini selalu menjadi Endorphin buat hidupku. Saat semua kelu menghantui
pikiranku. Cukup dengan mengingat surat cinta itu, maka aku akan kembali
tersenyum. Dan hatiku kembali penuh akan harapan dan keyakinan. Karena semua
mimpi itu hanya butuh waktu yang tepat untuk tersingkap dalam kenyataan.
Sabtu sore yang indah, berteman secangkir teh manis hangat
dan kenangan indah dari sepotong keajaiban.