Sabtu, 27 April 2013

Surat Cinta Untukmu


Sabtu sore begini biasanya …. 

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri kalo mengingat semua memory tentang sabtu sore. Karena sebegitu banyaknya kejadian yang terjadi di sabtu sore. Saat seperti ketika aku terduduk di ujung dermaga sambil menghanyutkan perahu kertasku satu demi satu. Atau saat ketika aku menyusuri jalan setapak di taman hutan rakyat itu. Sabtu sore ketika hanya ada aku dan kedua malaikat di pundakku serta Sang Khalik di qalbuku. 

Sabtu sore ini berbeda dengan yang lalu-lalu. Biasanya aku bercengkrama dengan hijaunya hutan ataupun hembusan segar angin laut. Kali ini aku hanya duduk manis di balik jendela tempatku bekerja. Rinai hujan tertumpah di luar gedung. Secangkir teh manis hangat cukup sebagai teman untuk menghabiskan sabtu soreku kali ini. Pandanganku tak pernah lepas dari rintik hujan yang tercurah dari langit. Kira-kira ada berapa banyak tetes air yang tumpah disana ya? Jutaan? Atau mungkin triliunan tetes air? Aku pasti gak sanggup menghitungnya. Dan aku tersenyum lagi karena memikirkan pertanyaan itu.

Tentang sabtu sore, aku jadi teringat akan keajaiban yang pernah terjadi hampir 11 tahun lalu. Tentang surat kaleng. Hehehee, surat kaleng. Aku jadi ingin ketawa menyebut surat ku itu dengan sebutan surat kaleng. Tapi memang benar kan, bila surat tanpa identitas pengirimnya bisa disebut dengan istilah surat kaleng. *nyengir*

Saat itu, sabtu dini hari tanggal 4 Mei 2002. Aku berdoa dengan sangat serius di sholat sepertiga malamku. Aku sudah menuliskan suatu surat dan berharap agar Tuhan menyampaikan suratku itu kepada orang yang dituju dengan cara yang ajaib. Karena bagiku tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. 

Sepanjang waktu di sekolah pada hari itu aku tidak bisa benar-benar fokus dengan materi pelajaran yang diberikan oleh guruku. Pikiranku terus mengarah pada suratku itu. Pada niatku. Aku masih ragu dan merasa hal ini sangat bodoh. Namun hatiku bersikeras bahwa semua ini akan baik-baik saja dan pasti berhasil seperti semua angan yang telah aku pikirkan. 

Tepat saat jam terakhir pelajaran hari itu berakhir, aku mulai berkeringat dingin dan jantungku berdetak tidak karuan. Aku berjalan dengan gontai menuju lapangan basket sekolahku yang terletak di sudut sekolah. Sesampainya disana aku kembali terdiam cukup lama dengan surat ditanganku. Lapangan itu sepi, tidak ada orang satupun. Aku bingung apakah terus melanjutkan niatku atau tidak. Tapi akhirnya aku pasrah. Aku berjalan menuju tempat duduk dari marmer yang ada di sudut lapangan basket itu. Sengaja aku memilih tempat duduk itu karena aku cukup tahu tempat itu tidak pernah tersentuh oleh siswa. Aku meletakkan surat itu di atas tempat duduk itu. Amplop surat yang polos, hanya bertuliskan nama yang dituju tanpa embel-embel nama pengirimnya.

Hampir 10 menit aku berdiri di depan tempat duduk itu sambil memandang surat itu. Dalam hati aku berdoa dengan kaku. ‘Tuhan aku percaya dengan semua kuasaMU, aku percaya dengan mukzijatMU,  aku percaya tidak ada yang mustahil bagiMU. Surat ini sengaja aku letakkan ditempat ini karena menurutku ini adalah tempat yang tepat. Tidak seorangpun familiar dengan tempat duduk ini. Dan saat ini langit sudah cukup gelap, mungkin sebentar lagi akan hujan. Jadi menurut logikaku, surat ini bila tidak diterbangkan angin pasti akan lapuk dan luruh terguyur hujan. Namun aku percaya, atas ijinMU surat ini pasti akan sampai kepadanya dengan caraMU yang ajaib.’

Dan begitulah. Aku meninggalkan lapangan basket itu dengan lega. Sudah kupasrahkan semuanya. Sampai ataupun tidak sampai aku pasti bisa menerimanya dengan lapang dada.

Senin besoknya, aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Berjalan dengan tergesa-gesa menuju lapangan basket. Begitu tiba di depan tempat duduk itu, kudapati surat itu sudah raib. Kucari kesekitarnya juga tidak ada. Mungkin sudah tersapu angin, atau benar sudah luruh terkena hujan. Dan aku tidak memikirkannya lagi setelah itu.

Tapi ternyata hal yang sudah mengendap di pikiranmu, tiba-tiba bisa langsung tersulut lagi saat suatu percikan api kejutan terlontar kepadamu.

Beberapa bulan setelah hari senin itu. Ketika aku sudah naik ke kelas 3 dan berkumpul dengan beberapa teman sekelas yang baru. Salah seorangnya menjadi temanku yang cukup dekat. Cukup sering saat jam istirahat sekolah kami mengobrol di depan kelas. Hingga siang itu tiba-tiba dia mengutarakan pertanyaan yang membuat telingaku seketika berdenging. ‘eh kamu dulu waktu kelas 2 pernah kirim surat ke temenku ya?’ dan sejenak aku melongo karena kaget. Kaget bahwa ternyata surat itu tidak raib dibawa angin ataupun lapuk tersiram hujan. Tapi surat itu ada ditangan salah seorang manusia. Namun aku cukup pandai berakting menutupi keterkejutanku.

‘Surat apa? Aku gak pernah kirim surat ke temenmu itu. Untuk urusan apa juga aku kirim surat ke dia. Emang itu surat apa sie? Jadi penasaran.’ Aku cukup menjawab pertanyaan temanku itu dengan sangat rileks. 

Diapun masih tetap gak percaya, ‘Ah gak mungkin, pasti itu beneran kamu yang kirim surat.’ 

Akupun gak mau kalah ngotot dari dia, ‘Hadeehhh… surat apa sie, koq jadi aku dituduh-tuduh gini?’  

‘Jadi gini,’ temanku mulai bercerita tentang surat itu.

‘Dulu waktu kelas 2, pas hari sabtu itu aku sama sahabatku lagi latihan basket di lapangan basket belakang sana. Nah, setelah hampir sejam latihan, aku kecapekan terus gak sengaja lah duduk di kursi marmer pojokkan itu. Padahal biasanya juga gak pernah mau duduk disitu. Taunya waktu mau duduk, aku ngelihat ada surat di atas tempat duduk itu. Amplopnya polos hanya tertulis nama temanku yang kebetulan satu kelas sama aku. Aku langsung berteriak manggil sahabatku dan bernafsu untuk membuka surat itu. Namun sahabatku melarangnya. Dia bilang gak baik kalo kita membaca hal yang bukan ditujukan untuk kita. Dia menyarankan untuk memberikan surat itu kepada orang yang dituju. Tanpa pikir panjang kami buru-buru pulang dan menuju rumah teman sekelasku itu. Namun begitu sampai di depan rumahnya, kami gak berani masuk. Akhirnya kami putuskan untuk mencari telepon umum di dekat rumahnya. Lalu kami telepon kerumahnya. Tapi saying ternyata temanku itu tidak sedang berada di rumah karena dia lagi bepergian ke Malang dan mungkin akan kembali minggu malam. Jadi kami harus bersabar menunggu sampai hari senin pagi untuk memberikan surat itu kepadanya.’

Aku cukup mendengarkan dengan seksama tanpa memutus ucapannya dengan sepatah katapun. Sebelum dia kembali melanjutkan ceritanya setelah meneguk air minum karena kehausan hahaha.

‘Senin paginya, aku sudah tidak sabar menunggu teman sekelasku itu datang. Dan tak lama begitu dia datang, aku langsung menghampiri tempat duduknya dan menyerahkan surat itu. Dia sempat kaget dan bertanya itu surat dari siapa. Aku bilang saja nemu di lapangan basket tapi aku gak berani membukanya. Aku gak sabar pingin tahu isinya dan menyuruhnya untuk segera membuka surat itu, namun dia menolaknya untuk membukanya disini. Dia mau baca di tempat lain saja tanpa ada orang lain yang ikut baca surat itu. Aku sempet protes dan tetap gak bisa mengubah keputusannya itu. Tapi dia janji nanti akan memberi tahu isi suratnya kepadaku. Dia pergi gak begitu lama, terus kembali ke kelas dan menghampiriku. Dia cerita kalo isi surat itu cuma bilang bahwa orang yang bikin surat itu suka sama dia dan hari ini dia ulang tahun. Tapi gak ada nama pengirimnya disitu.’

Sampai disitu aku mulai protes, ‘lah terus kenapa aku yang dituduh kirim surat itu?’

‘Aku belum selesai cerita nie, dengerin dulu!’ katanya.

‘Dari situ, aku jadi penasaran pingin tahu siapa pengirimnya. Aku tanya ke temenku itu, apa dia tahu siapa kira-kira pengirimnya. Tapi dia bilang juga gak tahu, namun ada satu petunjuk di surat itu. Pengirimnya ulang tahun hari senin itu. Lalu dia pergi untuk cari tahu kira-kira siapa yang ulang tahun pas hari senin itu. Anehnya dia pergi gak begitu lama dan kembali lagi kepadaku sambil berkata, hanya satu orang yang berulang tahun hari senin itu. Dan kemudian dia menyebut namamu.’

‘Hah! aneh ya, kebetulan sekali. Iya, memang benar aku yang berulang tahun hari senin itu. Tapi bukan aku yang mengirimnya.’ Dalihku membuat alibi.

‘Bisa saja mungkin ada orang yang sengaja membuat surat itu dengan menjukkan identitas pengirimnya itu ke aku. Iya kan?’ alibiku semakin kuat.

‘Iya juga sie, ya sudahlah mungkin memang bukan kamu yang ngirim.’ Akhirnya dia kemakan alibiku.

Dalam hati aku berteriak. Ya Tuhan, rasanya aku pingin langsung sujud syukur saat itu. Mukzijatmu nyata. Hal yang mustahil terbukti menjadi kenyataan. Aku seperti ingin menangis. Doaku terkabul, Engkau sampaikan surat itu kepada orang yang dituju dengan ijinMU. Butuh beberapa waktu untuk mengetahui sesuatu yang sudah Engkau wujudkan. Saat itu rasanya api yang sudah redup seperti ditiup dengan oksigen hingga nyalanya kembali membara. 

Aku tidak menyangka surat cinta itu sampai. Tepat waktu. Persis seperti dalam doa dan anganku.

Surat cinta untukmu, keajaibanku yang nyata. Memory akan kejadian ini selalu menjadi Endorphin buat hidupku. Saat semua kelu menghantui pikiranku. Cukup dengan mengingat surat cinta itu, maka aku akan kembali tersenyum. Dan hatiku kembali penuh akan harapan dan keyakinan. Karena semua mimpi itu hanya butuh waktu yang tepat untuk tersingkap dalam kenyataan.

Sabtu sore yang indah, berteman secangkir teh manis hangat dan kenangan indah dari sepotong keajaiban.

Jumat, 26 April 2013

Malu - Malu kucing


Kamu gak tau apa gak mau tau
Kalau sebenarnya aku suka kamu
Dari dulu aku menyukaimu
Kalau kau juga memang menyukaiku
Katakan saja kepada diriku
Agar aku tau yang sebenarnya...
Tak usah kau malu-malu

Katakan saja padaku
Biarkan semua tau
Malu-malu kucing malu tapi mau
Kau pura-pura kau sembunyikan perasaanmu
Malu-malu kucing tapi mau
Kau pura-pura kau bohongi diri sendiri

(Malu-Malu Kucing :: dipopulerkan Bing Slamet)

Mungkin bagi sebagian kita sangat asing dengan lirik lagu di atas, aku saja baru tahu semalam. 

Tadi malam aku pergi ke Bentara Budaya Jakarta untuk menghadiri premier pameran sketsa Pak Raden. Iya bener, pak Raden yang bikin boneka si Unyil itu. Saat baru tiba di lokasi kebetulan acara sudah mulai dan band White Shoes and The Couples Company sedang beraksi di atas panggung. Aku terpukau melihat penampilan mereka. Terhibur dengan music yang dimainkan mereka. Sampai akhirnya mereka menyanyikan satu lagu special ini. Lagu yang sangat popular waktu era gambang kromo di Jakarta dan kembali di populerkan oleh Bing Slamet (sesuai yang disampaikan Pak Raden tentang lagu ini). ‘Malu-Malu Kucing’ judulnya. Band ini memainkan lagunya dengan gubahan lagu yang menarik. Aku sangat-sangat jatuh cinta dengan lagu ini saat pertama kali mendengarnya. Liriknya mengingatkanku padamu. Hahahhaa, entah kenapa setiap lagu yang menyentuh kalbuku selalu menggiring memory otakku akanmu. 

Malu-malu kucing, persis seperti bio di jejaring sosialmu. Malu-malu untuk menceritakan siapa kamu sebenarnya.

Jumat, 19 April 2013

Waktu

Siapakah pemilik waktu?

Tuhan

Iya, benar. Tuhanlah yang memiliki waktu. semua yang akan terjadi di masa datang adalah atas seijin-NYA
Seperti malam lalu, ketika kita hanya dipisahkan oleh jarak sekian detik. Dan Tuhan berkehendak untuk tidak mempertemukan kita, tepat sekian detik dari kenyataan yang ada seandainya saja aku masih setia duduk di depan Televisi itu.

Jodoh pasti Bertemu

Aku tetap akan menunggu waktu itu tiba. Menunggu pertemuan tanpa terduga, pertemuan dengan seijin Tuhan.

Senin, 15 April 2013

ijinkan aku pulang


Kepada pangkuan Ibu aku akan kembali. Memeluk erat kedua lututnya, manaruh lembut kepalaku dalam pangkuannya. Sesekali rambutku dibelai oleh telapak tangannya yang lembut. Dan tak lama setelah itu aku akan terbuai oleh tembang-tembang klasik jawa yang didendangkan merdu oleh Ibu. Oh Ibu, aku merindukanmu.

***
Semburat kuning kemerahan mulai tertoreh di langit barat. Dari balik kaca besar di lantai 14 gedung ini aku memandanginya dengan nanar. Ada rindu yang menggantung disana, rindu kepada kampung halamanku. Tak seperti biasanya aku merasa seperti ini, seolah-olah ada dorongan kuat yang memanggil-manggil.

Sekilas lengkung lembut senyum ibuku terlintas kembali di kepalaku. Menusuk keluku yang semakin membeku. Seperti inikah sendu yang merongrong seorang perantau ketika kesepian menyergapnya tanpa ampun? Akupun tak tahu apa sebabnya. Bertahun-tahun yang lalu aku tidak pernah merasakan yang seperti ini. Kecuali saat malam itu aku terjaga dari tidur karena mimpi buruk dimana nenekku meninggal dalam pangkuanku dan aku menangis sejadi-jadinya saat suara ibu terdengar di ujung telepon genggamku.

Dengan sabar ibu menenangkanku, mendamaikanku bahwa nenekku baik-baik saja saat itu walaupun ibu juga sudah pasrah karena keadaan nenekku yang belum sembuh dari sakitnya. Hampir 30 menit aku menangis. Rasanya badanku masih bergetar karena bayangan tentang mimpi itu masih terlihat jelas. Ibu cukup berkata lembut, menceritakan almarhumah nenek buyutku ketika beliau hendak meninggal. Beliau membujukku agar tetap bersabar dan tegar, bahwa kematian itu pasti akan terjadi entah saat ini atau esok hari. Aku tak mendengar ibuku menangis. Suaranya basah, namun aku tahu itu bukan tangis.

Ahhh.. ibu, aku tak pernah bisa menyandingkan kesabaranmu dengan karang di lautan manapun. Tak perlu ketegaran itu harus engkau perlihatkan dengan baja yang terjajar rapat. Hanya butuh senyum dan keridhoan maka kamu akan menjadi kuat, begitu engkau berkata padaku bu. Hanya semudah itu bagimu. Tapi sampai saat ini aku belum tau letak mudahnya ada dimana.

Ibu, langit dibarat sana semakin menyala. Senja tak lagi redup seperti remang musim gugur, namun cemerlang seperti fajar musim semi. Semburat itu mengingatkanku akan pemandangan belakang rumah kita yang menyudut ke arah barat, menghadap Semeru yang gagah. Saat secercah merah itu mengitari puncaknya, semua yang kulihat hanya kesempurnaan Ilahi bu, hanya itu.

Lihat itu bu. Dibawah sana mobil-mobil saling beradu cepat, menyesaki jalanan protocol ini dengan deru dan asap polusinya. Namun dari ketinggian ini aku tidak mendengar bisingnya, hanya seperti gerombolan suara lebah yang bersembunyi di balik pohon. Baru kali ini bu aku merasakan lelah menjalani euphoria kota besar. Aku rindu suara alam yang damai.

Ibu, aku ingin pulang.

Selasa, 09 April 2013

Kejutan Dua Jari manis

Kejutan yang membuatku bahagia lahir dan batin. Yaitu ketika melihat mereka berdua bergandengan tangan terus-menerus tanpa terlepas saat resepsi pernikahannya tanggal 7 April 2013 kemarin lalu. Dan sepanjang aku berada di ruangan itu, senyumku tak pernah pudar menatap mereka berdua. Cinta begitu menyeruak diantaranya. 

Sang Lelaki adalah manusia yang baru kukenal dekat awal 2011 lalu. Sementara Sang Wanita adalah rekan kerja sekantorku pada pertengahan 2010 hingga akhir 2010 sebelum akhirnya pindah ke club dan bertemulah dengan Sang Lelaki disana. 

Sang Lelaki adalah sosok yang ramah dan penuh perhitungan akan masa depan, banyak hal yang sering aku bicarakan dan diskusikan dengan dia. Dia selalu tertarik dengan hal wirausaha, bahkan saat itu dia juga sudah memulai usaha sampingannya dengan membuka gerai ramen yang dioperasikan oleh saudaranya. Dia selalu berusaha untuk mendorongku mau berwirausaha. Namun saat itu aku masih benar-benar ragu memulai suatu usaha dari mana. 

Sang Wanita adalah sosok perempuan mandiri yang satir terhadap laki-laki, serta penuh pertimbangan dan membentengi semua hal pribadinya dengan baik. Dia cantik, proporsional, stylis, tomboy, namun dia juga pribadi yang sangat hangat dan ramah. Aku melihatnya sebagai sosok wanita yang sangat keren, bahkan aku selalu kagum kepadanya. 

Saat awal-awal bercengkrama dengan mereka, aku merasa mereka adalah pasangan yang pas. Seperti gembok dengan pasangan kunci. Mereka sama-sama masih sendiri dan mereka juga sebenarnya seperti sedang dikejar deadline untuk menikah hahaha. Sering aku menjodoh-jodohkan mereka berdua, namun sesering itu pula mereka meledekku bahwa hal itu sangat tidak masuk akal. “Mana mungkin kami pacaran, dia bukan typeku”. Kalimat pamungkas ini yang sering kudengar waktu berusaha memasangkan mereka. Tapi aku juga gak pernah menyerah dengan keyakinanku itu, dalam hati aku membatin bahwa waktu akan menjawab semuanya jika mereka memang berjodoh.

Kedekatan kami aku rasa sangat erat. Pernah sekali waktu itu di pertengahan 2012, aku dan Sang Lelaki berencana untuk pergi Ke Bandung. Namun saat mendekati hari H-nya, Sang Lelaki masih belum memberikan kabar pastinya. Akhirnya aku meluncur ke Bandung lebih dulu bersama temanku dan berjanji akan bertemu dengan Sang Lelaki disana jika dia jadi menyusul. Saat kutanya dia akan berangkat dengan siapa, dia hanya tertawa dan bilang ‘rahasia’. Otakku langsung mengerut dan mengerucutkan satu nama, “Kamu berangkat bersama Sang Wanita ya?”. Sang Lelaki tidak menjawabnya, dia hanya tertawa.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memberi kabar bahwa saat itu dia sudah berada di Bandung. Ternyata aku dibodohinya, aku ditipu mentah-mentah dengan alibinya untuk gak jadi ke Bandung. Aku disuruhnya untuk segera menyusul ke Luxton Hotel. Dan setibanya di Hotel, aku tidak terkejut saat Sang Wanita ternyata sudah ada dikamar dan sedang mandi. Perkiraanku tidak meleset. Tanpa basa-basi aku langsung memborbardir mereka, “kalian udah resmi pacaran atau gimana sie?”. Mereka berdua kompak tertawa dan menggelitiku habis-habisan sampai aku merasa badanku kayak kejang. Sambil teriak minta ampun, aku melontarkan kata-kata ini kepada mereka, “aku gak perlu pengakuan, aku hanya menunggu bukti. Jika jodoh itu ada, aku akan melihat kalian berdua di pelaminan!” Bukannya berhenti, mereka malah menjadi-jadi untuk menggelitikku.

Kalo ingat moment itu, aku selalu tersenyum sendiri. Sebenarnya kecurigaanku bukan hanya pada saat itu saja. Sang Lelaki pernah kepergok aku sedang berpergian ke Singapura. Dia tidak pernah mengaku pergi kesana bersama siapa, tapi aku bisa tahu jika Sang Wanita yang sedang bersamanya saat itu. Juga saat Sang Lelaki pergi ke salah satu Villa indah di perbukitan sentul. Dan yang lain-lain lagi. Aku yakin saat itu mereka sebenarnya sedang menjajaki hati. Tapi mungkin memang belum ada hal resmi yang perlu di publikasikan.

Hingga kejutan itu datang. Tanggal 30 Maret 2013, Sang Lelaki mengirimiku pesan singkat untuk memintaku menemuinya karena ada hal yang membutuhkan bantuanku. Aku datang tak berselang lama setelah pesannya itu kuterima. Ketika kami bertatap muka, kulihat dia seperti kelelahan. Dia menyodorkan sebuah undangan kepadaku. “Aku akan menikah dengan Sang Wanita minggu depan.” Aku tersenyum, sejenak agak lama, dan dia tahu arti senyumku itu. Dia tidak banyak bicara. Hanya sebuah permohonan untuk membantunya membagikan beberapa undangan kepada orang-orang yang sekantor dengan aku. Namun pada akhirnya hal itu urung dilakukan, karena Sang Wanita berkeinginan untuk memberikannya langsung kepada orang-orang tersebut. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kepeluk mereka berdua, sepasang yang kutahu sangat menawan, sepasang yang kutahu sangan serasi, sepasang yang kutahu mempunyai makna tersendiri tentang cinta.

Mungkin inilah yang dinamakan dengan suratan takdir dan jalan hidup dari Tuhan. Jodoh itu pasti, dan jalannya tidak pernah kita duga. Banyak pihak yang merasa sedikit tidak percaya dengan kebersamaan mereka. Orang-orang itu mengatakan, “Kok bisa ya Sang Wanita memilih Sang Lelaki sebagai tulang punggungnya, bukannya dia itu mempunyai type yang jauh lebih tinggi levelnya daripada Sang Lelaki itu.” Namun, terlepas dari itu semua, aku tidak peduli lagi. Bagiku mereka adalah pasangan menawan. Mereka berdua bisa memantapkan hatinya untuk menjadi sepasang, bukan lagi seorang. Karena mereka dulu masih begitu ragu dengan persatuan itu, menikah. Tapi Tuhan Maha Tahu, Dia menyatukannya pada waktu yang tepat, yang tak disangka-sangka. 

Inilah salah satu dongeng yang kurangkai dulu, kucoba untuk terus meyakininya dan Alhamdulillah akhirnya menjadi nyata.

Sepasang Merpatiku, aku menangis berkat kalian, bukan lagi tangisan duka tapi ini adalah tangisan haru. Bahwa cinta itu memang sederhana, tanpa harus banyak syarat. Kalian membuat cinta itu tampak ringan dan mudah untuk diarungi. Aku harap sayap kalian selalu tangguh hingga mampu terbang mengarungi hidup dan abadi bersama Sang Khalik.

Sabtu, 06 April 2013

6 April

Tanggal ini menjadi istimewa semenjak harapan itu tersulut lagi setahun lalu. Keajaiban terindah dalam hidupku kembali.

Aku masih setia menunggu jawaban itu.
"aku akan menunggu hingga hatiku berdarah karena duka".
Seperti itulah keyakinanku.


Jumat, 05 April 2013

sanguine -1-

malam itu, karena emosi dan putus asa yang mengerdilkan akal sehatku.
aku memutuskan untuk menyampaikannya, tanpa ragu dan begitu cepat.

" Hari itu, pada waktu itu.
Saat mencintaimu untuk yang pertama kalinya.
Dan aku tahu hal itu adalah suatu kesalahan.
Tapi hati kecilku mengatakan kalau kau adalah cinta sejatiku."

Kau tak bergeming,
pesanku senyap, detik menjadi menit, menit menjadi jam.
mataku tak sedetikpun berpaling dari layar ponsel itu.
menunggu dengan cemas.

gundah mengalahkan kesabaranku.
jemariku kembali sibuk dengan keypad ponsel itu.

" Kita harus bicara,
Suatu hari nanti kita harus bicara.
Aku ingin mendengar semuanya darimu.
Aku harus tahu semua kebenaran yang kau simpan sendiri."

dan pesan itu kembali senyap.
kali ini aku memenangkan kesabaranku dan terduduk lesu.
jauh dalam ruang di dalam dadaku, aku mendengar ada yang berbisik. lirih.

'kamu sudah memenangkannya jauh sebelum kamu menyampaikan semua ini. hatinya adalah milikmu. jangan bersedih. dia tak pernah jauh darimu. seperti ajal dengan ruhmu. dekat sekali, lebih dekat dari yang pernah kau pikirkan. ajallah nanti yang akan menemuimu. sama halnya dengan dia. bersabarlah, waktu itu sesungguhnya singkat'

mataku memanas, jantungku berdetak dengan cepat. sesuatu yang menyilaukan menerpaku.
merobohkanku sekali jadi.
aku pingsan.