Kepada pangkuan Ibu aku akan
kembali. Memeluk erat kedua lututnya, manaruh lembut kepalaku dalam
pangkuannya. Sesekali rambutku dibelai oleh telapak tangannya yang lembut. Dan
tak lama setelah itu aku akan terbuai oleh tembang-tembang klasik jawa yang
didendangkan merdu oleh Ibu. Oh Ibu, aku merindukanmu.
***
Semburat kuning kemerahan mulai
tertoreh di langit barat. Dari balik kaca besar di lantai 14 gedung ini aku
memandanginya dengan nanar. Ada rindu yang menggantung disana, rindu kepada kampung
halamanku. Tak seperti biasanya aku merasa seperti ini, seolah-olah ada
dorongan kuat yang memanggil-manggil.
Sekilas lengkung lembut senyum
ibuku terlintas kembali di kepalaku. Menusuk keluku yang semakin membeku. Seperti
inikah sendu yang merongrong seorang perantau ketika kesepian menyergapnya
tanpa ampun? Akupun tak tahu apa sebabnya. Bertahun-tahun yang lalu aku tidak
pernah merasakan yang seperti ini. Kecuali saat malam itu aku terjaga dari
tidur karena mimpi buruk dimana nenekku meninggal dalam pangkuanku dan aku
menangis sejadi-jadinya saat suara ibu terdengar di ujung telepon genggamku.
Dengan sabar ibu menenangkanku,
mendamaikanku bahwa nenekku baik-baik saja saat itu walaupun ibu juga sudah
pasrah karena keadaan nenekku yang belum sembuh dari sakitnya. Hampir 30 menit
aku menangis. Rasanya badanku masih bergetar karena bayangan tentang mimpi itu
masih terlihat jelas. Ibu cukup berkata lembut, menceritakan almarhumah nenek
buyutku ketika beliau hendak meninggal. Beliau membujukku agar tetap bersabar
dan tegar, bahwa kematian itu pasti akan terjadi entah saat ini atau esok hari.
Aku tak mendengar ibuku menangis. Suaranya basah, namun aku tahu itu bukan
tangis.
Ahhh.. ibu, aku tak pernah bisa
menyandingkan kesabaranmu dengan karang di lautan manapun. Tak perlu ketegaran
itu harus engkau perlihatkan dengan baja yang terjajar rapat. Hanya butuh
senyum dan keridhoan maka kamu akan menjadi kuat, begitu engkau berkata padaku
bu. Hanya semudah itu bagimu. Tapi sampai saat ini aku belum tau letak mudahnya
ada dimana.
Ibu, langit dibarat sana semakin
menyala. Senja tak lagi redup seperti remang musim gugur, namun cemerlang
seperti fajar musim semi. Semburat itu mengingatkanku akan pemandangan belakang
rumah kita yang menyudut ke arah barat, menghadap Semeru yang gagah. Saat secercah
merah itu mengitari puncaknya, semua yang kulihat hanya kesempurnaan Ilahi bu,
hanya itu.
Lihat itu bu. Dibawah sana
mobil-mobil saling beradu cepat, menyesaki jalanan protocol ini dengan deru dan
asap polusinya. Namun dari ketinggian ini aku tidak mendengar bisingnya, hanya
seperti gerombolan suara lebah yang bersembunyi di balik pohon. Baru kali ini
bu aku merasakan lelah menjalani euphoria kota besar. Aku rindu suara alam yang
damai.
Ibu, aku ingin pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar