Senin, 15 April 2013

ijinkan aku pulang


Kepada pangkuan Ibu aku akan kembali. Memeluk erat kedua lututnya, manaruh lembut kepalaku dalam pangkuannya. Sesekali rambutku dibelai oleh telapak tangannya yang lembut. Dan tak lama setelah itu aku akan terbuai oleh tembang-tembang klasik jawa yang didendangkan merdu oleh Ibu. Oh Ibu, aku merindukanmu.

***
Semburat kuning kemerahan mulai tertoreh di langit barat. Dari balik kaca besar di lantai 14 gedung ini aku memandanginya dengan nanar. Ada rindu yang menggantung disana, rindu kepada kampung halamanku. Tak seperti biasanya aku merasa seperti ini, seolah-olah ada dorongan kuat yang memanggil-manggil.

Sekilas lengkung lembut senyum ibuku terlintas kembali di kepalaku. Menusuk keluku yang semakin membeku. Seperti inikah sendu yang merongrong seorang perantau ketika kesepian menyergapnya tanpa ampun? Akupun tak tahu apa sebabnya. Bertahun-tahun yang lalu aku tidak pernah merasakan yang seperti ini. Kecuali saat malam itu aku terjaga dari tidur karena mimpi buruk dimana nenekku meninggal dalam pangkuanku dan aku menangis sejadi-jadinya saat suara ibu terdengar di ujung telepon genggamku.

Dengan sabar ibu menenangkanku, mendamaikanku bahwa nenekku baik-baik saja saat itu walaupun ibu juga sudah pasrah karena keadaan nenekku yang belum sembuh dari sakitnya. Hampir 30 menit aku menangis. Rasanya badanku masih bergetar karena bayangan tentang mimpi itu masih terlihat jelas. Ibu cukup berkata lembut, menceritakan almarhumah nenek buyutku ketika beliau hendak meninggal. Beliau membujukku agar tetap bersabar dan tegar, bahwa kematian itu pasti akan terjadi entah saat ini atau esok hari. Aku tak mendengar ibuku menangis. Suaranya basah, namun aku tahu itu bukan tangis.

Ahhh.. ibu, aku tak pernah bisa menyandingkan kesabaranmu dengan karang di lautan manapun. Tak perlu ketegaran itu harus engkau perlihatkan dengan baja yang terjajar rapat. Hanya butuh senyum dan keridhoan maka kamu akan menjadi kuat, begitu engkau berkata padaku bu. Hanya semudah itu bagimu. Tapi sampai saat ini aku belum tau letak mudahnya ada dimana.

Ibu, langit dibarat sana semakin menyala. Senja tak lagi redup seperti remang musim gugur, namun cemerlang seperti fajar musim semi. Semburat itu mengingatkanku akan pemandangan belakang rumah kita yang menyudut ke arah barat, menghadap Semeru yang gagah. Saat secercah merah itu mengitari puncaknya, semua yang kulihat hanya kesempurnaan Ilahi bu, hanya itu.

Lihat itu bu. Dibawah sana mobil-mobil saling beradu cepat, menyesaki jalanan protocol ini dengan deru dan asap polusinya. Namun dari ketinggian ini aku tidak mendengar bisingnya, hanya seperti gerombolan suara lebah yang bersembunyi di balik pohon. Baru kali ini bu aku merasakan lelah menjalani euphoria kota besar. Aku rindu suara alam yang damai.

Ibu, aku ingin pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar