Sabtu, 27 April 2013

Surat Cinta Untukmu


Sabtu sore begini biasanya …. 

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri kalo mengingat semua memory tentang sabtu sore. Karena sebegitu banyaknya kejadian yang terjadi di sabtu sore. Saat seperti ketika aku terduduk di ujung dermaga sambil menghanyutkan perahu kertasku satu demi satu. Atau saat ketika aku menyusuri jalan setapak di taman hutan rakyat itu. Sabtu sore ketika hanya ada aku dan kedua malaikat di pundakku serta Sang Khalik di qalbuku. 

Sabtu sore ini berbeda dengan yang lalu-lalu. Biasanya aku bercengkrama dengan hijaunya hutan ataupun hembusan segar angin laut. Kali ini aku hanya duduk manis di balik jendela tempatku bekerja. Rinai hujan tertumpah di luar gedung. Secangkir teh manis hangat cukup sebagai teman untuk menghabiskan sabtu soreku kali ini. Pandanganku tak pernah lepas dari rintik hujan yang tercurah dari langit. Kira-kira ada berapa banyak tetes air yang tumpah disana ya? Jutaan? Atau mungkin triliunan tetes air? Aku pasti gak sanggup menghitungnya. Dan aku tersenyum lagi karena memikirkan pertanyaan itu.

Tentang sabtu sore, aku jadi teringat akan keajaiban yang pernah terjadi hampir 11 tahun lalu. Tentang surat kaleng. Hehehee, surat kaleng. Aku jadi ingin ketawa menyebut surat ku itu dengan sebutan surat kaleng. Tapi memang benar kan, bila surat tanpa identitas pengirimnya bisa disebut dengan istilah surat kaleng. *nyengir*

Saat itu, sabtu dini hari tanggal 4 Mei 2002. Aku berdoa dengan sangat serius di sholat sepertiga malamku. Aku sudah menuliskan suatu surat dan berharap agar Tuhan menyampaikan suratku itu kepada orang yang dituju dengan cara yang ajaib. Karena bagiku tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. 

Sepanjang waktu di sekolah pada hari itu aku tidak bisa benar-benar fokus dengan materi pelajaran yang diberikan oleh guruku. Pikiranku terus mengarah pada suratku itu. Pada niatku. Aku masih ragu dan merasa hal ini sangat bodoh. Namun hatiku bersikeras bahwa semua ini akan baik-baik saja dan pasti berhasil seperti semua angan yang telah aku pikirkan. 

Tepat saat jam terakhir pelajaran hari itu berakhir, aku mulai berkeringat dingin dan jantungku berdetak tidak karuan. Aku berjalan dengan gontai menuju lapangan basket sekolahku yang terletak di sudut sekolah. Sesampainya disana aku kembali terdiam cukup lama dengan surat ditanganku. Lapangan itu sepi, tidak ada orang satupun. Aku bingung apakah terus melanjutkan niatku atau tidak. Tapi akhirnya aku pasrah. Aku berjalan menuju tempat duduk dari marmer yang ada di sudut lapangan basket itu. Sengaja aku memilih tempat duduk itu karena aku cukup tahu tempat itu tidak pernah tersentuh oleh siswa. Aku meletakkan surat itu di atas tempat duduk itu. Amplop surat yang polos, hanya bertuliskan nama yang dituju tanpa embel-embel nama pengirimnya.

Hampir 10 menit aku berdiri di depan tempat duduk itu sambil memandang surat itu. Dalam hati aku berdoa dengan kaku. ‘Tuhan aku percaya dengan semua kuasaMU, aku percaya dengan mukzijatMU,  aku percaya tidak ada yang mustahil bagiMU. Surat ini sengaja aku letakkan ditempat ini karena menurutku ini adalah tempat yang tepat. Tidak seorangpun familiar dengan tempat duduk ini. Dan saat ini langit sudah cukup gelap, mungkin sebentar lagi akan hujan. Jadi menurut logikaku, surat ini bila tidak diterbangkan angin pasti akan lapuk dan luruh terguyur hujan. Namun aku percaya, atas ijinMU surat ini pasti akan sampai kepadanya dengan caraMU yang ajaib.’

Dan begitulah. Aku meninggalkan lapangan basket itu dengan lega. Sudah kupasrahkan semuanya. Sampai ataupun tidak sampai aku pasti bisa menerimanya dengan lapang dada.

Senin besoknya, aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Berjalan dengan tergesa-gesa menuju lapangan basket. Begitu tiba di depan tempat duduk itu, kudapati surat itu sudah raib. Kucari kesekitarnya juga tidak ada. Mungkin sudah tersapu angin, atau benar sudah luruh terkena hujan. Dan aku tidak memikirkannya lagi setelah itu.

Tapi ternyata hal yang sudah mengendap di pikiranmu, tiba-tiba bisa langsung tersulut lagi saat suatu percikan api kejutan terlontar kepadamu.

Beberapa bulan setelah hari senin itu. Ketika aku sudah naik ke kelas 3 dan berkumpul dengan beberapa teman sekelas yang baru. Salah seorangnya menjadi temanku yang cukup dekat. Cukup sering saat jam istirahat sekolah kami mengobrol di depan kelas. Hingga siang itu tiba-tiba dia mengutarakan pertanyaan yang membuat telingaku seketika berdenging. ‘eh kamu dulu waktu kelas 2 pernah kirim surat ke temenku ya?’ dan sejenak aku melongo karena kaget. Kaget bahwa ternyata surat itu tidak raib dibawa angin ataupun lapuk tersiram hujan. Tapi surat itu ada ditangan salah seorang manusia. Namun aku cukup pandai berakting menutupi keterkejutanku.

‘Surat apa? Aku gak pernah kirim surat ke temenmu itu. Untuk urusan apa juga aku kirim surat ke dia. Emang itu surat apa sie? Jadi penasaran.’ Aku cukup menjawab pertanyaan temanku itu dengan sangat rileks. 

Diapun masih tetap gak percaya, ‘Ah gak mungkin, pasti itu beneran kamu yang kirim surat.’ 

Akupun gak mau kalah ngotot dari dia, ‘Hadeehhh… surat apa sie, koq jadi aku dituduh-tuduh gini?’  

‘Jadi gini,’ temanku mulai bercerita tentang surat itu.

‘Dulu waktu kelas 2, pas hari sabtu itu aku sama sahabatku lagi latihan basket di lapangan basket belakang sana. Nah, setelah hampir sejam latihan, aku kecapekan terus gak sengaja lah duduk di kursi marmer pojokkan itu. Padahal biasanya juga gak pernah mau duduk disitu. Taunya waktu mau duduk, aku ngelihat ada surat di atas tempat duduk itu. Amplopnya polos hanya tertulis nama temanku yang kebetulan satu kelas sama aku. Aku langsung berteriak manggil sahabatku dan bernafsu untuk membuka surat itu. Namun sahabatku melarangnya. Dia bilang gak baik kalo kita membaca hal yang bukan ditujukan untuk kita. Dia menyarankan untuk memberikan surat itu kepada orang yang dituju. Tanpa pikir panjang kami buru-buru pulang dan menuju rumah teman sekelasku itu. Namun begitu sampai di depan rumahnya, kami gak berani masuk. Akhirnya kami putuskan untuk mencari telepon umum di dekat rumahnya. Lalu kami telepon kerumahnya. Tapi saying ternyata temanku itu tidak sedang berada di rumah karena dia lagi bepergian ke Malang dan mungkin akan kembali minggu malam. Jadi kami harus bersabar menunggu sampai hari senin pagi untuk memberikan surat itu kepadanya.’

Aku cukup mendengarkan dengan seksama tanpa memutus ucapannya dengan sepatah katapun. Sebelum dia kembali melanjutkan ceritanya setelah meneguk air minum karena kehausan hahaha.

‘Senin paginya, aku sudah tidak sabar menunggu teman sekelasku itu datang. Dan tak lama begitu dia datang, aku langsung menghampiri tempat duduknya dan menyerahkan surat itu. Dia sempat kaget dan bertanya itu surat dari siapa. Aku bilang saja nemu di lapangan basket tapi aku gak berani membukanya. Aku gak sabar pingin tahu isinya dan menyuruhnya untuk segera membuka surat itu, namun dia menolaknya untuk membukanya disini. Dia mau baca di tempat lain saja tanpa ada orang lain yang ikut baca surat itu. Aku sempet protes dan tetap gak bisa mengubah keputusannya itu. Tapi dia janji nanti akan memberi tahu isi suratnya kepadaku. Dia pergi gak begitu lama, terus kembali ke kelas dan menghampiriku. Dia cerita kalo isi surat itu cuma bilang bahwa orang yang bikin surat itu suka sama dia dan hari ini dia ulang tahun. Tapi gak ada nama pengirimnya disitu.’

Sampai disitu aku mulai protes, ‘lah terus kenapa aku yang dituduh kirim surat itu?’

‘Aku belum selesai cerita nie, dengerin dulu!’ katanya.

‘Dari situ, aku jadi penasaran pingin tahu siapa pengirimnya. Aku tanya ke temenku itu, apa dia tahu siapa kira-kira pengirimnya. Tapi dia bilang juga gak tahu, namun ada satu petunjuk di surat itu. Pengirimnya ulang tahun hari senin itu. Lalu dia pergi untuk cari tahu kira-kira siapa yang ulang tahun pas hari senin itu. Anehnya dia pergi gak begitu lama dan kembali lagi kepadaku sambil berkata, hanya satu orang yang berulang tahun hari senin itu. Dan kemudian dia menyebut namamu.’

‘Hah! aneh ya, kebetulan sekali. Iya, memang benar aku yang berulang tahun hari senin itu. Tapi bukan aku yang mengirimnya.’ Dalihku membuat alibi.

‘Bisa saja mungkin ada orang yang sengaja membuat surat itu dengan menjukkan identitas pengirimnya itu ke aku. Iya kan?’ alibiku semakin kuat.

‘Iya juga sie, ya sudahlah mungkin memang bukan kamu yang ngirim.’ Akhirnya dia kemakan alibiku.

Dalam hati aku berteriak. Ya Tuhan, rasanya aku pingin langsung sujud syukur saat itu. Mukzijatmu nyata. Hal yang mustahil terbukti menjadi kenyataan. Aku seperti ingin menangis. Doaku terkabul, Engkau sampaikan surat itu kepada orang yang dituju dengan ijinMU. Butuh beberapa waktu untuk mengetahui sesuatu yang sudah Engkau wujudkan. Saat itu rasanya api yang sudah redup seperti ditiup dengan oksigen hingga nyalanya kembali membara. 

Aku tidak menyangka surat cinta itu sampai. Tepat waktu. Persis seperti dalam doa dan anganku.

Surat cinta untukmu, keajaibanku yang nyata. Memory akan kejadian ini selalu menjadi Endorphin buat hidupku. Saat semua kelu menghantui pikiranku. Cukup dengan mengingat surat cinta itu, maka aku akan kembali tersenyum. Dan hatiku kembali penuh akan harapan dan keyakinan. Karena semua mimpi itu hanya butuh waktu yang tepat untuk tersingkap dalam kenyataan.

Sabtu sore yang indah, berteman secangkir teh manis hangat dan kenangan indah dari sepotong keajaiban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar