Kamis, 27 Juni 2013

Second Entry

Senangnya kembali berjumpa denganmu, kota ternyaman yang pernah ku kunjungi.

Untuk pertama kalinya aku bermalam di salah satu kebanggaanmu. Seperti anak kesayanganmu yang kau manjakan dengan semua kemudahan dan segala fasilitas tersier ini. Rasanya seperti tidak mau berpisah lagi denganmu. Ingin tetap berangkulan denganmu dan selalu menjadi anak kesayanganmu.

Berada denganmu memberiku kesempatan bertemu dengan makhluk sejenisku dari berbagai macam bentuk dan rupa. Aku bagai berada di dunia kloning yang dihadirkan dalam wadah kecil namun semuanya ada. Karaktermu begitu modern hingga aku nyaris merasa seperti manusia gua yang ditaruh ditengah pasar dunia.

Takkan cukup waktu saat bercengkrama denganmu seperti ini. Umur seakan membeku pada satu titik quantum dan menjadikanku tetap muda, tak jua menua.

Selasa, 25 Juni 2013

Sanguine -8-


Minggu pagi, 23 Juni 2013, Simpang Macan – Kersik Tuo

Pemandangan pagi ini menakjubkan, mengobati lelah karena perjalanan panjang 211 km dalam waktu kurang lebih 6 jam. Matahari terbit dengan anggun dibalik bukit barisan, di depannya terhampar rimbun hijau perkebunan teh. Langit fajar berhias awan yang berarak-arak seperti kapas tipis terbang melayang-layang di angkasa. Segera saja kuabadikan apa yang kulihat saat ini dan ku perlihatkan kepada kawan-kawanku, lebih tepatnya aku ingin memperlihatkannya kepada dia yang meminta oleh-oleh foto sunrise yang ciamik. 

Subuh tadi aku berpamitan kepada kawan-kawanku, memohon doa restu agar pendakianku kali ini berjalan dengan lancar dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Pendakian yang sudah kunantikan sejak lama. Salah satu mimpiku yang sebentar lagi akan kuwujudkan. Menemui 3805 mdpl, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Rasanya bahagia dan cemas yang meletup-letup dalam hatiku membuat adrenalinku meningkat berkali-kali lipat. Aku akan melalui sedikitnya 12 jam perjalanan untuk sampai ke Puncak, melewati 6 pos utama. Dari pintu rimba, pos 1, pos 2, pos 3, shelter 1, shelter 2, shelter 3 dan akhirnya puncak utama.

Kakiku sudah menjejak di pintu rimba dan akan segera memulai pendakian. Bersama kawan-kawanku, kami berdoa sejenak, memohon perlindungan dan keselamatan selama perjalanan kami nanti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam hati aku memohon agar kamu disana juga mendoakanku tanpa jeda. 

Aku langkahkan kakiku untuk mengarungi rimba pegunungan ini yang cukup rapat. Akan butuh waktu 8 hingga 9 jam untuk mencapai shelter 3. Tetap optimis, aku yakin sanggup menakhlukkan puncak utama sesuai prediksi waktu yang kami tentukan. Pendakian ini terasa sangat berat karena kondisi jalan yang terjal dan rapatnya vegetasi sepanjang jalan. Pada setiap pos aku berhenti untuk beristirahat sejenak dan mencari sumber air. Memasuki shelter 2 udara terasa semakin dingin, air disini juga terasa agak pahit juga agak kotor karena berasal dari hujan dan kabut tebal yang disaring oleh pohon. 

Aku tiba di shelter 3 saat matahari sudah condong ke barat. Setelah melepas lelah kami segera mendirikan tenda untuk bermalam. Dari sini hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menuju puncak utama. Kami akan menuju puncak utama saat menjelang subuh nanti, karena di pagi hari biasanya puncak utama bebas awan dan kabut yang menutupi pemandangan. Kalau harus mendaki di siang hari,  matahari sangat menyengat dan bisa membakar kulit dalam waktu yg singkat karena sudah tidak ada pohon tinggi. Kami mempersiapkan senter juga persiapan yang lain untuk pendakian ke puncak nanti. Medan yang akan kami tempuh nanti berupa bebatuaan, kerikil dan juga pasir yang semuanya sudah bercampur. Summit attack disana nanti lumayan berat namun juga mengasikan dan bagus pemandangannya.

Mega tampak keemasan di langit barat, menutup hari yang melelahkan ini dengan sempurna. Tak berselang lama ketika langit menggelap, dari ujung timur terlihat supermoon yang menawan. Bulan purnama dengan ukuran yang terlihat lebih besar dan terang benderang. Aku seperti mendapatkan 2 jackpot sekaligus. Malam ini akan menjadi malamku yang sempurna, kamu disana juga dapat melihat fenomena alam yang indah ini kan? Andai saja aku bisa mengirimkan foto senja dan bulan terbit ini kepadamu saat ini.

Malam kian beranjak, dingin semakin menyergap. Alam tak lagi gulita, cahaya berderang dari purnama meneranginya. Malam ini terlalu sempurna bahkan tanpa kehadiranmupun masih begitu terasa memikat. Seperti malam yang kita lewati di Bromo dulu, malam yang sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda karena saat itu adalah bulan mati.

Seperti kebetulan saja, aku berada di pegunungan, sama seperti malam itu, 23 Juni 2001. Ketika kita berkemah di bromo dengan kawan-kawan satu kelas. Kita outing setelah ujian kenaikkan kelas. Dan aku senang sekali saat kamu bersedia turut serta dalam acara itu. Hari itu menjadi saat pertama kita berpergian bersama. 47 hari pertama sejak aku jatuh hati kepadamu. Seakan hari itu adalah hadiah terindah buatku. Apakah kamu mengingat semua yang kita lewati kala itu?

Aku ingat saat tiba giliranmu untuk membawa kayu bakar berpasangan dengan teman yang lain. namun aku tak ingin kamu dibantu oleh teman itu, harus aku yang membantumu. Jadi aku meminta kepadanya untuk membawa kayu bakar itu bersamamu walaupun aku sudah menjalankan giliranku sebelumnya. Aku berjalan dihadapanmu dan berkali-kali aku menoleh kebelakang untuk memastikan kamu baik-baik saja. Ataupun meminta tali pegangan kayu itu agar kamu geser sedikit ke depan biar kamu tidak berat. Dari gesture kecil ini, aku berusaha untuk memberikan perhatian kepadamu, dari bahasa yang hanya bisa kumengerti

Aku juga ingat ketika malam tiba dan kamu sibuk membuat makan malam, mie instant yang kau rebus di dalam panci. Aku dengan serta merta datang menghampirimu hanya untuk sekedar membantu. Tapi kamu malah menolak pertolonganku dan mengusirku agar bergabung saja dengan teman-teman yang lain. Aku merasa kecewa ketika itu.

Aku ingat saat kita duduk bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut sana, di hadapanku, menyanyi dengan riang bersama yang lain. Kamu dengan syal warna jambu dan kupluk merah. Wajahmu yang tampak bersinar bermandikan cahaya api. Dari sudut ini, aku memainkan gitar kesayanganku dengan riang. Dan menemukan matamu yang mencuri-curi pandang kepadaku. Lalu kamupun tertunduk dengan sangat cepat dan pipiku tampak memerah setelahnya.

Aku ingat dengan kabut beku yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar kayu. Kabut yang naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus cepat ketika mencapai bibir tebing. Kamu  tergigil. Tapi aku hanya bisa memandang tanpa tahu harus berbuat apa.

Aku ingat saat perlahan api unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini sebenarnya sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Aku berjalan hilir mudik untuk mengusir beku dan bingung harus tidur dimana. Tenda yang kita pasang ternyata penuh dengan air embun. Akhirnya aku memutuskan berbaring di sebelah api unggun, melengkungkan badanku yang seperti beku.

Aku ingat benar dengan bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam itu. Mereka tampak seperti jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Lalu sebuah bintang jatuh melintas. Aku begitu takjub melihatnya. Dalam hati kupanjatkan doa, ‘abadikanlah apa yang kurasakan kepadanya, jangan pernah jauhkan kami, ikatlah kami untuk selamanya’.

Bodohnya aku kenapa harus berdoa seperti itu. Seharusnya aku meminta sesuatu yang lebih pasti. Sekarang ini jadi seperti kenyataan pahit. Aku tetap tidak bisa pindah kelain hati, selalu mencintanya namun tak jua berani mengungkapkannya.

Ya Tuhan, terima kasih sudah menghiburku dengan pemandangan yang indah malam ini. Mungkin jika tanpa hal-hal seperti ini, aku tidak akan bisa mengingat dengan jelas pada setiap kenangan yang kualami. 12 tahun lebih aku hidup di dalamnya. Mendamaikkan hatiku dengan menapaki puncak-puncak gunungmu seperti sekarang ini. Kuatkan aku hingga saat itu tiba. Saat aku memintanya menjadi milikku.

Dan yang kuperlukan hanya 2 jam lagi untuk sampai kepada mimpiku. Akan kuabadikan fajar yang paling indah untukmu.

Senin, 24 Juni 2013

Sanguine -7-


Bogor, 23 Juni 2013, 19:00 WIB

Dari atas bukit ini aku bisa melihat super moon dengan cukup jelas. Bulan purnama dengan ukuran yang terlihat lebih besar dan terang benderang. Kusandarkan daguku pada kedua lututku sementara kedua lenganku merangkul lututku dengan nyaman. Kupandangi fenomena alam ini dengan senyum sumringah, aku tahu kamu disana juga sedang menikmati pemandangan ini. Dari tempat yang tinggi tanpa terbiaskan oleh pendar lampu kota. 

Malam ini terlalu sempurna bahkan tanpa kehadiranmupun masih begitu terasa memikat. Sesekali kupejamkan kedua kelopak mataku, kubayangkan kamu disana juga tersenyum kepada wajah purnama yang kau tatap lekat. Tubuhku seperti dijalari perasaan hangat seketika ini. Ahh, malam yang begitu indah ini, mengingatkanku akan malam yang kita lewati saat belia dulu. Malam yang sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda karena saat itu purnama sedang bersembunyi.

Tentang malam itu, tanggal yang sama dengan hari ini, 23 Juni pada 12 tahun yang lalu. Saat untuk pertama kalinya kita berpergian bersama. Saat aku sedang dimabuk cinta kepadamu, cinta diam-diam. Saat awal-awal aku begitu kasmaran kepadamu. Apakah kamu mengingatnya? Tentang tenda yang kita dirikan di tebing yang membentengi gunung Bromo. Tentang langit gelap yang bertaburan bintang. Tentang malam dingin yang kita hangatkan dengan secercah api unggun. Kenangan yang terlalu lekat untuk terkikis waktu. 

Bromo ketika itu. Indah sekali. Salah satu malam terindah yang pernah kulewati. Cukup dengan menutup mata, maka aku akan bisa kembali melihat hamparan langit luas bertabur bintang itu. Kumpulan kabut putih yang menyelimuti lautan pasir di bawah tebing. Angin gunung yang berhembus tanpa ampun. Ataupun wajahmu yang terpantul cahaya api unggun. 

Dari sudut tempat dudukku itu, aku memandangmu. Menyebrangi api di depanku dan menemukan matamu yang bercahaya di ujung sana. Mencuri-curi pandang kepadamu. Tertunduk dengan sangat cepat ketika matamu menemukan pandanganku. Dan bisa kurasakan pipiku meremang setelahnya. Ahhh, kenapa kamu selalu tampak memukau seperti itu.

Ingatkah kamu, saat kamu membantuku membawakan kayu bakar saat tiba giliranku untuk membawanya padahal saat itu seharusnya giliran teman yang lain untuk membawanya. Tapi kamu dengan spontan meminta untuk menggantikan teman tersebut. Kamu berjalan di depanku dengan memegang erat tali yang melilit kayu bakar itu. Sesekali kamu menoleh kebelakang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Aku merasakan semua gesture kecilmu itu sebagai kepingan perasaanmu yang tak sanggup kau katakan.

Ingatkah kamu, saat aku sibuk membuat makan malam, mie instant yang kurebus di dalam panci dan kamu dengan serta merta datang menghampiriku hanya untuk sekedar membantu. Tapi aku malah menolak pertolonganmu itu dan mengusirmu agar bergabung saja dengan teman-teman yang lain.

Ingatkah kamu, saat kita duduk bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut sana, di hadapanku, memegang gitar kesayangmu dan memainkannya dengan suka-cita. Kamu dengan sweater abu-abu hitam berhiaskan 3 motif wajik di dada. Wajahmu yang tampak serius menikmati semua melody yang kau mainkan. Ataupun seringaimu yang terlihat tipis kala ada seorang teman yang fals menyanyikan nada lagu itu.

Ingatkah kamu, dengan bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam. Mereka tampak seperti jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Sekali terlihat bintang jatuh melintas. Aku memejamkan mataku dan membuat permohonan, ‘dekatkanlah kami (aku dan kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami ketika terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’

Ingatkah kamu, dengan kabut beku yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar kayu. Kabut yang naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus cepat ketika mencapai bibir tebing. Aku tergigil. Kutahu bola matamu memperhatikanku ketika itu.  

Ingatkah kamu, saat perlahan api unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini sebenarnya sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Kamu hanya mondar mandir kesana kemari, bingung mencari tempat untuk merebahkan badan. Sekalinya kamu terbaring, badanmu melengkung rapat saat dingin semakin mengerat tulang. 

Ingatkah kamu , saat malam beku itu terasa begitu panjang karena kita susah sekali untuk memejamkan mata. Hingga ketika lelah menjadi sangat keterlaluan, badan kita rebah tanpa perlawanan. Mata kita tertutup dengan sendirinya. 

Ingatkah kamu, saat pagi menjelang. Beberapa teman berkeinginan untuk turun tebing dan berjalan menuju kawah Bromo. Aku mengikuti rombongan itu, tapi kamu tidak. Aku kecewa karena kamu tidak turut serta. Namun kucoba untuk tetap menikmati perjalanan menuju kawah Bromo itu.

*** 

Aku ingat baik-baik tentang doaku saat bintang jatuh melintas di langit malam itu. ‘Dekatkanlah kami (aku dan kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami ketika terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’. Dan kutahu kini semuanya itu seperti kenyataan yang pahit. Saat jarak terbentang diantara kita, namun selalu ada kesempatan yang mempertemukan kita kembali. Saat hatiku begitu hangat dan bahagia ketika membayangkan hal-hal indah bersamamu, namun terasa begitu kelu saat kita dipertemukan. Saat kutahu bahwa aku harus membuka hati kepada orang lain, namun hatiku seperti terikat erat kepadamu. Dan aku hanya bisa pasrah, bertahan hingga saat ini, di hari ke 4433.

Kamis, 13 Juni 2013

Sanguine -6-


Pertengahan April di 2003

Tugas-tugas sekolah ini membuatku gila, banyak sekali, bagaimana aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Batinku meracau tak karuan. Enggan sekali sebenarnya untuk berlama-lama disekolah, bel pulang sekolahpun juga sudah berdering hampir 17 menit yang lalu. Aku butuh konsentrasi biar bisa menyelesaikan semua tugas ini dengan cepat, 20 menit lagi kurasa cukuplah untuk menyelesaikannya.

Perkiraanku sedikit meleset, bukan sedikit, tapi jauh meleset. Butuh 40 menit untuk menyelesaikan semua tugas keparat ini. Sudah hampir jam 2 siang, aku harus segera pulang. Buru-buru kurapikan buku dan peralatan menulisku lalu kumasukkan ke dalam ransel. Sedikit bergegas, aku keluar meninggalkan kelas. Mataku sekilas melirik ke dalam kelasnya yang kulewati, ternyata sudah sepi. Sepertinya dia sudah pulang.

Kususuri koridor sekolah dengan sedikit terburu-buru menuju ke parkiran motor. Tak banyak siswa yang tersisa disekolah, hanya ada beberapa anak pramuka yang mempersiapkan peralatan prusik di bawah pohon palem kembar yang ada disamping lapangan tengah. Kulewati perpustakaan sebelum mencapai parkiran. Si Biru berdiri gagah disana, sudah menungguku. Berlebihan sekali aku memperlakukan motorku, seolah-olah dia benda hidup. Dalam hati aku tertawa, bagaimanapun juga si Biru itu benda yang berarti buatku.

Ah terik sekali hari ini, rasanya pengen segera sampai rumah dan menikmati segelas limun segar. Kukendarai si Biru dengan perlahan keluar dari parkiran dan berbelok ke kanan melewati gerbang sekolah menuju jalan raya. Dan diujung jalan sana, sepertinya…

Dia sedang berjalan kaki di ujung jalan sana ditengah hari yang terik ini. Kupacu si Biru sedikit lebih cepat untuk menyusulnya. Senang sekali rasanya, aku akan memboncengnya, mengantarnya pulang. Biar sekali ini aku harus memberanikan diri. Mataku seperti berbinar-binar menyongsong dia yang berjalan di depan. Kurapatkan si Biru ke arahnya.
  
“Mau kemana?”
“Pulang”
“Kok sendirian, temenmu mana?”
“Oh, dia udah duluan tadi, aku sholat dulu soalnya”
“Mau bareng?”
“Gak usah, aku naik angkot saja di depan nanti”
“Udah bareng aja, panas gini. Searah juga kan,”
“Hmmm,”
“Udah ayo,”
“Ya udah, maaf jadi ngerepotin”
“Iya gak pa-pa”

Yes!, dalam hati aku bersorak girang. Walaupun dalam obrolan tadi sebenarnya aku canggung bukan main. Tapi untungnya aku bisa menanggulangi grogi itu dengan baik. Kulajukan si Biru dengan lembut biar dia nyaman. Sesekali kutengok dia dari kaca spion, dalam hati aku memohon agar dia mau memeluk pinggangku. Namun tak kuasa aku untuk mengucapkannya.

Tak seberapa jauh motorku melaju, tiba-tiba dari arah belakang datang beberapa teman dekatku menyusul dengan motor mereka. Keringat dinginku seperti mau tumpah. Motor mereka mensejajari kami. Lalu salah seorang dari mereka meledek dia. 

“Cieee… udah pulang bareng nie sekarang, boncengan lagi” dan yang lainpun lalu tertawa.

Kampreett!!. Dalam hati aku berteriak gusar. Rasanya aku pengen ngelempar mereka ke dalam selokan. Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda.

Ledekan itupun semakin menjadi. Tapi hebatnya, dia hanya menanggapinya dengan tertawa. Aku tidak menunjukkan ekspresi apapun, berusaha sejaim mungkin seolah-olah tidak sedang terjadi apapun. Oh crap!! Aku sudah gak tahan lagi. Mulut mereka seperti pingin tak sumpal pakai kaos kaki. Tanpa sadar aku langsung menimpali ledekan mereka.

‘Ngomongin apa sih!”

Dan sekali lagi, kampreettt!!!. mereka bukannya berhenti, malah semakin menjadi-jadi tertawanya. Untungnya setelah itu mereka segera pamit dan pergi meninggalkan kami sambil cengengesan ke arahku, damn!

Aku harus mengatur nafasku berkali-kali biar tidak kelihatan gugup di depan dia. Wajahku sengaja kusetel tanpa ekspresi demi menutupi gerah di kepalaku. Sekali kulihat wajahnya dari kaca spion, dia tampak baik-baik saja. Aku bernafas lega melihatnya. Kusenandungkan lagu kegemaranku dengan lirih, jujur aku sangat bahagia sekali hari ini. Mengelus spidometer si Biru sekilas, seolah aku juga ingin berbagi kebahagiaan ini dengannya.

Ini kali pertama aku berboncengan motor dengannya. Kali pertama dia duduk di atas motorku, Si Biruku yang menawan. Hatiku seperti melambung entah kemana. Aku tahu dia juga merasa hal yang sama. Hatinya seriang hatiku saat ini. Bahkan bisa kulihat dia sesekali tersenyum ketika mendengarkanku bersenandung. Kurasa ledekkan teman-temanku tadi tidak menggerahkan telinganya, malah membuatnya tersipu. Ahh, andai saja kamu tahu kalau hatiku seperti ingin meletup saat mendengar ledekan mereka. Ingin sekali saat itu aku memegang tanganmu dan melingkarkannya di pinggangku biar mereka berhenti meledek seketika itu.

Perjalanan ini terasa begitu singkat. Aku sudah bisa melihat gang tempatnya tinggal di depan mata. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengan dia. 15 menit, seperempat jam yang membuat hatiku berdebar, berdetak tanpa kendali, darahku mengalir deras memenuhi jantung dan otakku. Mungkin malam nanti aku gak akan bisa tidur dengan tenang. Aku menghentikan motorku perlahan ketika sampai di gang tempatnya tinggal. Menstabilkan motorku ketika dia turun. Dan tersenyum tipis kepadanya.

“Terima kasih”
 “Sama-sama, udah ya, aku duluan”
 “Iya”

Manis sekali kamu hari ini. Andai saja hidup tak perlu serumit ini, mungkin saat ini aku bisa mengecup keningmu sebelum pergi meninggalkanmu. Rasanya dunia tidak begitu adil, tapi aku sangat berterima kasih dengan kesempatan yang sudah Kau berikan hari ini.  

Rabu, 12 Juni 2013

Ah Begitulah Cinta,... (Re-Write 'Raka,')


Re-write 'Raka,' by @miaofme
nie cerita jadi konyol banget dah, kampreettt!!!! semoga kesan romantis di cerita aslinya gak ikutan buyar.
*sigh*
_______________________________________________________________________________

INDAH. Sepertinya hanya itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan waktu itu. Memang bukan waktu silam, karena terjadinya juga tidak dapat dituliskan dengan tanggal, bulan, tahun, detik, menit, jam, tempat, suasana, dan berbagai setting yang jelas. Kenapa??? Ah sebaiknya kalian baca saja dulu.

Alkisah hiduplah seekor manusia, eh… seorang manusia. Namanya “Hanya”
Hanya ini jatuh cinta pada seseorang yang bernama “SAJA”

Suatu hari si Hanya yang cinta gila pada Saja setelah bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba mendapatkan kunjungan dadakan. Kunjungan mendadak itu terjadi di pagi buta, ketika matahari masih merem melek. Tok tok tok….Begitulah suara pintu terdengar diketok dari luar.

Telinga hanya menangkap sinyal itu dan meneruskannya ke otaknya yang masih tertidur. “hoaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhh” dengan malas dia bangun dan menyentuh gagang pintu. “kleekkk” dibukanya pintu itu dan tanpa 1,2.3 (kalau bahasa gahul ala koreanya Hana, Dul, Set..), seseorang tampak seperti bayangan langsung menyeruak dari luar dan bergelanggang ke dalam. “Ow…” Si Hanya bingung, terkejut, mata berkedip-kedip dan akhirnya dia menyadari ada banyak belek di matanya. Dengan cepat dia membersihkan matanya. Seseorang yang barusan masuk ke kamar itu pun ternyata adalah sosok lelaki berparas menawan yang selalu menjadi pangeran dalam mimpi Hanya. “Am I dreaming?” Hanya menepuk-nepuk wajahnya. Si lelaki berdiri dengan mata sambil mencari-cari sesuatu. “Paspor kamu mana?”

“i….itu.. di laci dalam lemari” Sekonyong-konyong dia membuka lemari dan menggeret laci di dalamnya keluar. Paspor Hanya pun mentereng keluar tanpa suara (Ya iyalah..sejak kapan paspor bisa ngomong?)
Dia mengambil paspor itu dan mengambil tas ransel yang tergeletak di sudut kamar Hanya. Dia mengambil beberapa barang yang tak sempat Hanya lihat karena Hanya masih tertegun saja melihat ulah lelaki yang sebenarnya baru saja berdansa ria di dalam mimpinya.

“Cepat cuci muka dan ganti pakaianmu. Aku tunggu di luar yah!”

Seperti ada komando dari Presiden RI dan jika tidak dilakukan maka Hanya akan dihukum gantung, dia langsung bergegas ke kamar mandi. Hanya menggosok gigi, mencuci muka. Kyaaa….dingin… maklum saja itu masih subuh. Hanya mengikat rambutnya dengan gaya ala-ala.  Dan meski tak percaya diri, Hanya berjalan keluar menemui lelaki rupawan itu di ruang tamu.

“Kita pergi sekarang” Dan sebuah taksi biru gagah berdiri de dapan kos Hanya. (sejak kapan yah taksi berdiri? Hahahahhaa)

Di sepanjang perjalanan mahluk bernama Saja itu diam. Ketika membuka mulut dia cuma meminta Hanya untuk tidur kembali” ah kejam sekali. Memangnya dia tidak tau kalau otak Hanya masih berbolak balik mencari tau apa yang terjadi? Memangnya dia tidak tau kalau situasi itu membuat jantung Hanya berdegup lebih kencang seperti boomerang yang mau perang? Tapi lagi-lagi seperti komando dari Raja Fir’aun (hehe bukan lagi Presiden) Hanya merem saja. Dan “hei”. Tiba-tiba sentuhan lembut tangan yang hangat menggelayut di pipi kanan Hanya. Ketika mata Hanya terbuka dia melihat wajah rupawan itu lagi. Dia sedikit terkejut dan masih berpikir itu mimpi. “yah, terkadang sesuatu terlalu indah untuk jadi nyata” begitulah Hanya selalu berpikir. But hey…. This isn’t a dream…..

Ternyata si Hanya dan si Saja sudah ada di bandara Soeta. Mereka ada di penerbangan internasional dengan tujuan Pukhet. Wowww… si Hanya tersenyum dan ingin berteriak rasanya. Tapi tidak mungkin dia tiba-tiba berlari dan memeluk si Saja yang saat itu mengurusi pembayaran tax. Satu setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di dalam pesawat, meluncur ke Thailand.

****
Phuket beach sungguh indah di pandang mata. Baru sampai di resort itu keduanya langsung masuk hotel dan sarapan. Maklum keduanya memang membutuhkan asupan energi. Selepas sarapan keduanya langsung kembali ke hotel. Tidur. Kali ini Saja tidur bersebelahan dengan si Hanya. Sontak saja itu membuat Hanya berdebar-debar. Dia masih beranggapan itu mimpi. Tapi si Saja tidur seperti bayi hingga beberapa saat kemudian terdengar suara dengkuran. Owww…. Ternyata pangeran juga bisa mendengkur yah?? Dan setelah beberapa menit… tuuuuuuuttt… Kyaa……… dia kentut. Si Hanya hanya bisa menahan tawa. Dia membiarkan Saja tidur pulas sambil memandangi wajahnya. Tapi lama-lama rasa kantuk menjangkit padanya dan dia pun tidur.

****
Ada pembicaraan menarik setelah mereka berdua bangun.

Suasana di resort itu benar-benar indah. Sejuk, lembut, dan senja menggantung di ufuk barat. Very nice.
Mereka berdua duduk di balkon kamar hotel sambil menikmati pemandangan pantai yang ada di depan mata mereka. Angin sepoi-sepoi menyambut wajah mereka. Saja tiba-tiba membuka mulut.

‘Aku ingin kau dengarkan aku dengan baik karena perkataan ini sudah aku tunggu sejak lama. Aku mengajakmu kesini karena aku tidak bisa mengatakannya di Jakarta. Terlalu rahasia bagiku dan aku tidak ingin seorang pun tahu selain kau dan aku”

Si Hanya antusias mendengar itu. Dia hanya mengangguk dan matanya berkedip-kedip.

Si Hanya melihat pupil mata Saja membesar yang hanya terjadi jika seseorang berbicara pada orang yang dia sukai. Dan tepat sekali, GR lah si Hanya. Otaknya kembali bugar dan mampu berpikir kalau orang tersebut memang jatuh cinta padanya dengan pupil seperti itu. Kemudian dia menyimak perkataan Saja dengan baik.

‘Aku ingin hal ini hanya menjadi milik kita berdua, bukan orang lain. sudah terlalu lama aku menimbang-nimbang. Ragu dengan apa yang sudah melekat di hati juga pikiranku sejak pertama kali kita bertemu. Aku terlalu naïf. Takut dengan pendapat dan pandangan publik. Dan sejak itu aku memulai membuat jarak denganmu. Aku mengacuhkanmu. Namun tak pernah sekalipun aku mengabaikanmu, hanya saja aku melakukannya seperti mata-mata. Memperhatikanmu dari jauh. Menjagamu dari jauh.’

‘Aku bisa bertahan dan cukup tenang hingga sekarang karena aku merasa tidak pernah kehilanganmu. Walaupun kita terpisah semenjak akhir sekolah dulu. Tapi aku bisa sangat yakin jika kamu tidak pernah berhenti mencintaiku.’ 

‘Maafin aku yang sudah membuatmu menanti terlalu lama, maafin aku yang tidak bisa mengapreasikan perasaanku dengan baik. Maafin aku yang tidak pandai memilih kata. Maafin aku yang selalu membuatmu kecewa setiap kali kita bertemu. Maafin aku yang tidak peka dengan maksud dan bahasamu. Bertahun-tahun aku mememdam, melihatmu dari jauh, meratapi kebodohanku karena ego yang tidak bisa kukalahkan ketika itu.’

‘Karena kamu, aku bisa terus hidup. Bisa semangat menahan tekanan apapun. Cukup dengan membaca semua tweetmu, membaca perasaanmu kepadaku. Aku merasa hidupku masih utuh, impianku masih benderang. Hampir setiap hari selama bertahun-tahun itu aku belajar tentangmu. Belajar tentang apa saja yang membuatmu senang, yang membuatmu tertawa, yang membuatku nyaman,.. yang membuatmu sedih. Tapi sejujurnya aku tidak pernah benar-benar tahu harus berbuat apa kepadamu. Jadi tolong ajari aku, bersabarlah terhadapku. Jangan lelah mencintaiku.’

‘Aku tidak ingin kehilanganmu, untuk saat ini ataupun seterusnya.’

Tuuuut… tiba-tiba Hanya kentut. Dia ternyata sangat gugup menerima pengakuan seperti itu. Saja pun tidak kalah terkejut karena bagaimana mungkin Hanya berani kentut di depannya dengan cara mengenaskan seperti itu. Bau nya pun merajalela. Astagaa………………….

“Bagaimana mungkin kamu kentut sembarangan seperti itu? Aku sudah menunggu waktu bertahun-tahun untuk ini tapi kamu rusak dengan kentut baumu itu” Umpat Saja

Mendengar itu Si Hanya tidak terima. Dia teringat Saja juga kentut sembarangan ketika tidur

“heh, namanya juga kentut. Aku nggak sengaja tau. Sapa suruh bikin pengakuan semendadak ini. Kamu pikir aku tidak terkejut? Kamu pikir aku nggak nunggu saat-saat kayak gini juga? Yang lebih menderita itu aku yah.. Udah sembarangan bawa anak orang kesini tanpa babibu… Aku ini masih syok karena kedatangan kamu yang tiba-tiba dan perjalanan kita disini, lalu kita ada disini saat ini, dan sekarang semakin membludak dengan pengakuanmu itu. Perutku juga ikut syok dan akhirnya gas di dalamnya ikut muntap keluar. Salah siapa itu?? Dan waktu tidur kamu juga kentut dan baunya dua kali lipat dari punyaku. ”

Hahhahaa…. Dan pembicaraan keduanya berakhir dengan tawa. Saja yang selalu jaim dan dingin di depan mata Hanya untuk pertama kalinya tertawa terpingkal-pingkal. Dia benar-benar tertawa lepas dan sudah jelas di mata keduanya yang penuh dengan rasa lega. Ah begitulah cinta….

Sekejap setelah gelak tawa itu mengembang, si Hanya membuka matanya. “Yahhhh… Ternyata memang mimpi”
Yah itulah kenapa cerita ini tidak bisa dituliskan dengan tanggal, bulan, tahun, detik, menit, jam, situasi, dan segala setting apapun, karena terjadinya di dalam mimpi. 
Sekian.