Pertengahan April di 2003
Tugas-tugas sekolah ini membuatku
gila, banyak sekali, bagaimana aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Batinku meracau
tak karuan. Enggan sekali sebenarnya untuk berlama-lama disekolah, bel pulang
sekolahpun juga sudah berdering hampir 17 menit yang lalu. Aku butuh
konsentrasi biar bisa menyelesaikan semua tugas ini dengan cepat, 20 menit lagi
kurasa cukuplah untuk menyelesaikannya.
Perkiraanku sedikit meleset, bukan
sedikit, tapi jauh meleset. Butuh 40 menit untuk menyelesaikan semua tugas
keparat ini. Sudah hampir jam 2 siang, aku harus segera pulang. Buru-buru
kurapikan buku dan peralatan menulisku lalu kumasukkan ke dalam ransel. Sedikit
bergegas, aku keluar meninggalkan kelas. Mataku sekilas melirik ke dalam
kelasnya yang kulewati, ternyata sudah sepi. Sepertinya dia sudah pulang.
Kususuri koridor sekolah dengan
sedikit terburu-buru menuju ke parkiran motor. Tak banyak siswa yang tersisa
disekolah, hanya ada beberapa anak pramuka yang mempersiapkan peralatan prusik di bawah pohon palem kembar yang
ada disamping lapangan tengah. Kulewati perpustakaan sebelum mencapai parkiran.
Si Biru berdiri gagah disana, sudah menungguku. Berlebihan sekali aku
memperlakukan motorku, seolah-olah dia benda hidup. Dalam hati aku tertawa,
bagaimanapun juga si Biru itu benda yang berarti buatku.
Ah terik sekali hari ini, rasanya
pengen segera sampai rumah dan menikmati segelas limun segar. Kukendarai si
Biru dengan perlahan keluar dari parkiran dan berbelok ke kanan melewati
gerbang sekolah menuju jalan raya. Dan diujung jalan sana, sepertinya…
Dia sedang berjalan kaki di ujung
jalan sana ditengah hari yang terik ini. Kupacu si Biru sedikit lebih cepat
untuk menyusulnya. Senang sekali rasanya, aku akan memboncengnya, mengantarnya
pulang. Biar sekali ini aku harus memberanikan diri. Mataku seperti
berbinar-binar menyongsong dia yang berjalan di depan. Kurapatkan si Biru ke
arahnya.
“Mau kemana?”
“Pulang”
“Kok sendirian, temenmu mana?”
“Oh, dia udah duluan tadi, aku
sholat dulu soalnya”
“Mau bareng?”
“Gak usah, aku naik angkot saja di
depan nanti”
“Udah bareng aja, panas gini. Searah
juga kan,”
“Hmmm,”
“Udah ayo,”
“Ya udah, maaf jadi ngerepotin”
“Iya gak pa-pa”
Yes!, dalam hati aku bersorak
girang. Walaupun dalam obrolan tadi sebenarnya aku canggung bukan main. Tapi untungnya
aku bisa menanggulangi grogi itu dengan baik. Kulajukan si Biru dengan lembut
biar dia nyaman. Sesekali kutengok dia dari kaca spion, dalam hati aku memohon
agar dia mau memeluk pinggangku. Namun tak kuasa aku untuk mengucapkannya.
Tak seberapa jauh motorku melaju,
tiba-tiba dari arah belakang datang beberapa teman dekatku menyusul dengan
motor mereka. Keringat dinginku seperti mau tumpah. Motor mereka mensejajari
kami. Lalu salah seorang dari mereka meledek dia.
“Cieee… udah pulang bareng nie
sekarang, boncengan lagi” dan yang lainpun lalu tertawa.
Kampreett!!. Dalam hati aku
berteriak gusar. Rasanya aku pengen ngelempar mereka ke dalam selokan. Ini bukan
waktu yang tepat buat bercanda.
Ledekan itupun semakin menjadi. Tapi
hebatnya, dia hanya menanggapinya dengan tertawa. Aku tidak menunjukkan
ekspresi apapun, berusaha sejaim mungkin seolah-olah tidak sedang terjadi
apapun. Oh crap!! Aku sudah gak tahan
lagi. Mulut mereka seperti pingin tak sumpal pakai kaos kaki. Tanpa sadar aku
langsung menimpali ledekan mereka.
‘Ngomongin apa sih!”
Dan sekali lagi, kampreettt!!!. mereka
bukannya berhenti, malah semakin menjadi-jadi tertawanya. Untungnya setelah itu
mereka segera pamit dan pergi meninggalkan kami sambil cengengesan ke arahku, damn!
Aku harus mengatur nafasku
berkali-kali biar tidak kelihatan gugup di depan dia. Wajahku sengaja kusetel
tanpa ekspresi demi menutupi gerah di kepalaku. Sekali kulihat wajahnya dari
kaca spion, dia tampak baik-baik saja. Aku bernafas lega melihatnya. Kusenandungkan
lagu kegemaranku dengan lirih, jujur aku sangat bahagia sekali hari ini. Mengelus
spidometer si Biru sekilas, seolah
aku juga ingin berbagi kebahagiaan ini dengannya.
Ini kali pertama aku berboncengan motor
dengannya. Kali pertama dia duduk di atas motorku, Si Biruku yang menawan.
Hatiku seperti melambung entah kemana. Aku tahu dia juga merasa hal yang sama.
Hatinya seriang hatiku saat ini. Bahkan bisa kulihat dia sesekali tersenyum
ketika mendengarkanku bersenandung. Kurasa ledekkan teman-temanku tadi tidak
menggerahkan telinganya, malah membuatnya tersipu. Ahh, andai saja kamu tahu
kalau hatiku seperti ingin meletup saat mendengar ledekan mereka. Ingin sekali
saat itu aku memegang tanganmu dan melingkarkannya di pinggangku biar mereka
berhenti meledek seketika itu.
Perjalanan ini terasa begitu
singkat. Aku sudah bisa melihat gang tempatnya tinggal di depan mata. Padahal aku
masih ingin berlama-lama dengan dia. 15 menit, seperempat jam yang membuat
hatiku berdebar, berdetak tanpa kendali, darahku mengalir deras memenuhi
jantung dan otakku. Mungkin malam nanti aku gak akan bisa tidur dengan tenang.
Aku menghentikan motorku perlahan ketika sampai di gang tempatnya tinggal.
Menstabilkan motorku ketika dia turun. Dan tersenyum tipis kepadanya.
“Terima kasih”
“Sama-sama, udah ya, aku duluan”
“Iya”
Manis sekali kamu hari ini. Andai
saja hidup tak perlu serumit ini, mungkin saat ini aku bisa mengecup keningmu
sebelum pergi meninggalkanmu. Rasanya dunia tidak begitu adil, tapi aku sangat
berterima kasih dengan kesempatan yang sudah Kau berikan hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar