Kamis, 13 Juni 2013

Sanguine -6-


Pertengahan April di 2003

Tugas-tugas sekolah ini membuatku gila, banyak sekali, bagaimana aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Batinku meracau tak karuan. Enggan sekali sebenarnya untuk berlama-lama disekolah, bel pulang sekolahpun juga sudah berdering hampir 17 menit yang lalu. Aku butuh konsentrasi biar bisa menyelesaikan semua tugas ini dengan cepat, 20 menit lagi kurasa cukuplah untuk menyelesaikannya.

Perkiraanku sedikit meleset, bukan sedikit, tapi jauh meleset. Butuh 40 menit untuk menyelesaikan semua tugas keparat ini. Sudah hampir jam 2 siang, aku harus segera pulang. Buru-buru kurapikan buku dan peralatan menulisku lalu kumasukkan ke dalam ransel. Sedikit bergegas, aku keluar meninggalkan kelas. Mataku sekilas melirik ke dalam kelasnya yang kulewati, ternyata sudah sepi. Sepertinya dia sudah pulang.

Kususuri koridor sekolah dengan sedikit terburu-buru menuju ke parkiran motor. Tak banyak siswa yang tersisa disekolah, hanya ada beberapa anak pramuka yang mempersiapkan peralatan prusik di bawah pohon palem kembar yang ada disamping lapangan tengah. Kulewati perpustakaan sebelum mencapai parkiran. Si Biru berdiri gagah disana, sudah menungguku. Berlebihan sekali aku memperlakukan motorku, seolah-olah dia benda hidup. Dalam hati aku tertawa, bagaimanapun juga si Biru itu benda yang berarti buatku.

Ah terik sekali hari ini, rasanya pengen segera sampai rumah dan menikmati segelas limun segar. Kukendarai si Biru dengan perlahan keluar dari parkiran dan berbelok ke kanan melewati gerbang sekolah menuju jalan raya. Dan diujung jalan sana, sepertinya…

Dia sedang berjalan kaki di ujung jalan sana ditengah hari yang terik ini. Kupacu si Biru sedikit lebih cepat untuk menyusulnya. Senang sekali rasanya, aku akan memboncengnya, mengantarnya pulang. Biar sekali ini aku harus memberanikan diri. Mataku seperti berbinar-binar menyongsong dia yang berjalan di depan. Kurapatkan si Biru ke arahnya.
  
“Mau kemana?”
“Pulang”
“Kok sendirian, temenmu mana?”
“Oh, dia udah duluan tadi, aku sholat dulu soalnya”
“Mau bareng?”
“Gak usah, aku naik angkot saja di depan nanti”
“Udah bareng aja, panas gini. Searah juga kan,”
“Hmmm,”
“Udah ayo,”
“Ya udah, maaf jadi ngerepotin”
“Iya gak pa-pa”

Yes!, dalam hati aku bersorak girang. Walaupun dalam obrolan tadi sebenarnya aku canggung bukan main. Tapi untungnya aku bisa menanggulangi grogi itu dengan baik. Kulajukan si Biru dengan lembut biar dia nyaman. Sesekali kutengok dia dari kaca spion, dalam hati aku memohon agar dia mau memeluk pinggangku. Namun tak kuasa aku untuk mengucapkannya.

Tak seberapa jauh motorku melaju, tiba-tiba dari arah belakang datang beberapa teman dekatku menyusul dengan motor mereka. Keringat dinginku seperti mau tumpah. Motor mereka mensejajari kami. Lalu salah seorang dari mereka meledek dia. 

“Cieee… udah pulang bareng nie sekarang, boncengan lagi” dan yang lainpun lalu tertawa.

Kampreett!!. Dalam hati aku berteriak gusar. Rasanya aku pengen ngelempar mereka ke dalam selokan. Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda.

Ledekan itupun semakin menjadi. Tapi hebatnya, dia hanya menanggapinya dengan tertawa. Aku tidak menunjukkan ekspresi apapun, berusaha sejaim mungkin seolah-olah tidak sedang terjadi apapun. Oh crap!! Aku sudah gak tahan lagi. Mulut mereka seperti pingin tak sumpal pakai kaos kaki. Tanpa sadar aku langsung menimpali ledekan mereka.

‘Ngomongin apa sih!”

Dan sekali lagi, kampreettt!!!. mereka bukannya berhenti, malah semakin menjadi-jadi tertawanya. Untungnya setelah itu mereka segera pamit dan pergi meninggalkan kami sambil cengengesan ke arahku, damn!

Aku harus mengatur nafasku berkali-kali biar tidak kelihatan gugup di depan dia. Wajahku sengaja kusetel tanpa ekspresi demi menutupi gerah di kepalaku. Sekali kulihat wajahnya dari kaca spion, dia tampak baik-baik saja. Aku bernafas lega melihatnya. Kusenandungkan lagu kegemaranku dengan lirih, jujur aku sangat bahagia sekali hari ini. Mengelus spidometer si Biru sekilas, seolah aku juga ingin berbagi kebahagiaan ini dengannya.

Ini kali pertama aku berboncengan motor dengannya. Kali pertama dia duduk di atas motorku, Si Biruku yang menawan. Hatiku seperti melambung entah kemana. Aku tahu dia juga merasa hal yang sama. Hatinya seriang hatiku saat ini. Bahkan bisa kulihat dia sesekali tersenyum ketika mendengarkanku bersenandung. Kurasa ledekkan teman-temanku tadi tidak menggerahkan telinganya, malah membuatnya tersipu. Ahh, andai saja kamu tahu kalau hatiku seperti ingin meletup saat mendengar ledekan mereka. Ingin sekali saat itu aku memegang tanganmu dan melingkarkannya di pinggangku biar mereka berhenti meledek seketika itu.

Perjalanan ini terasa begitu singkat. Aku sudah bisa melihat gang tempatnya tinggal di depan mata. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengan dia. 15 menit, seperempat jam yang membuat hatiku berdebar, berdetak tanpa kendali, darahku mengalir deras memenuhi jantung dan otakku. Mungkin malam nanti aku gak akan bisa tidur dengan tenang. Aku menghentikan motorku perlahan ketika sampai di gang tempatnya tinggal. Menstabilkan motorku ketika dia turun. Dan tersenyum tipis kepadanya.

“Terima kasih”
 “Sama-sama, udah ya, aku duluan”
 “Iya”

Manis sekali kamu hari ini. Andai saja hidup tak perlu serumit ini, mungkin saat ini aku bisa mengecup keningmu sebelum pergi meninggalkanmu. Rasanya dunia tidak begitu adil, tapi aku sangat berterima kasih dengan kesempatan yang sudah Kau berikan hari ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar