Senin, 24 Juni 2013

Sanguine -7-


Bogor, 23 Juni 2013, 19:00 WIB

Dari atas bukit ini aku bisa melihat super moon dengan cukup jelas. Bulan purnama dengan ukuran yang terlihat lebih besar dan terang benderang. Kusandarkan daguku pada kedua lututku sementara kedua lenganku merangkul lututku dengan nyaman. Kupandangi fenomena alam ini dengan senyum sumringah, aku tahu kamu disana juga sedang menikmati pemandangan ini. Dari tempat yang tinggi tanpa terbiaskan oleh pendar lampu kota. 

Malam ini terlalu sempurna bahkan tanpa kehadiranmupun masih begitu terasa memikat. Sesekali kupejamkan kedua kelopak mataku, kubayangkan kamu disana juga tersenyum kepada wajah purnama yang kau tatap lekat. Tubuhku seperti dijalari perasaan hangat seketika ini. Ahh, malam yang begitu indah ini, mengingatkanku akan malam yang kita lewati saat belia dulu. Malam yang sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda karena saat itu purnama sedang bersembunyi.

Tentang malam itu, tanggal yang sama dengan hari ini, 23 Juni pada 12 tahun yang lalu. Saat untuk pertama kalinya kita berpergian bersama. Saat aku sedang dimabuk cinta kepadamu, cinta diam-diam. Saat awal-awal aku begitu kasmaran kepadamu. Apakah kamu mengingatnya? Tentang tenda yang kita dirikan di tebing yang membentengi gunung Bromo. Tentang langit gelap yang bertaburan bintang. Tentang malam dingin yang kita hangatkan dengan secercah api unggun. Kenangan yang terlalu lekat untuk terkikis waktu. 

Bromo ketika itu. Indah sekali. Salah satu malam terindah yang pernah kulewati. Cukup dengan menutup mata, maka aku akan bisa kembali melihat hamparan langit luas bertabur bintang itu. Kumpulan kabut putih yang menyelimuti lautan pasir di bawah tebing. Angin gunung yang berhembus tanpa ampun. Ataupun wajahmu yang terpantul cahaya api unggun. 

Dari sudut tempat dudukku itu, aku memandangmu. Menyebrangi api di depanku dan menemukan matamu yang bercahaya di ujung sana. Mencuri-curi pandang kepadamu. Tertunduk dengan sangat cepat ketika matamu menemukan pandanganku. Dan bisa kurasakan pipiku meremang setelahnya. Ahhh, kenapa kamu selalu tampak memukau seperti itu.

Ingatkah kamu, saat kamu membantuku membawakan kayu bakar saat tiba giliranku untuk membawanya padahal saat itu seharusnya giliran teman yang lain untuk membawanya. Tapi kamu dengan spontan meminta untuk menggantikan teman tersebut. Kamu berjalan di depanku dengan memegang erat tali yang melilit kayu bakar itu. Sesekali kamu menoleh kebelakang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Aku merasakan semua gesture kecilmu itu sebagai kepingan perasaanmu yang tak sanggup kau katakan.

Ingatkah kamu, saat aku sibuk membuat makan malam, mie instant yang kurebus di dalam panci dan kamu dengan serta merta datang menghampiriku hanya untuk sekedar membantu. Tapi aku malah menolak pertolonganmu itu dan mengusirmu agar bergabung saja dengan teman-teman yang lain.

Ingatkah kamu, saat kita duduk bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut sana, di hadapanku, memegang gitar kesayangmu dan memainkannya dengan suka-cita. Kamu dengan sweater abu-abu hitam berhiaskan 3 motif wajik di dada. Wajahmu yang tampak serius menikmati semua melody yang kau mainkan. Ataupun seringaimu yang terlihat tipis kala ada seorang teman yang fals menyanyikan nada lagu itu.

Ingatkah kamu, dengan bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam. Mereka tampak seperti jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Sekali terlihat bintang jatuh melintas. Aku memejamkan mataku dan membuat permohonan, ‘dekatkanlah kami (aku dan kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami ketika terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’

Ingatkah kamu, dengan kabut beku yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar kayu. Kabut yang naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus cepat ketika mencapai bibir tebing. Aku tergigil. Kutahu bola matamu memperhatikanku ketika itu.  

Ingatkah kamu, saat perlahan api unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini sebenarnya sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Kamu hanya mondar mandir kesana kemari, bingung mencari tempat untuk merebahkan badan. Sekalinya kamu terbaring, badanmu melengkung rapat saat dingin semakin mengerat tulang. 

Ingatkah kamu , saat malam beku itu terasa begitu panjang karena kita susah sekali untuk memejamkan mata. Hingga ketika lelah menjadi sangat keterlaluan, badan kita rebah tanpa perlawanan. Mata kita tertutup dengan sendirinya. 

Ingatkah kamu, saat pagi menjelang. Beberapa teman berkeinginan untuk turun tebing dan berjalan menuju kawah Bromo. Aku mengikuti rombongan itu, tapi kamu tidak. Aku kecewa karena kamu tidak turut serta. Namun kucoba untuk tetap menikmati perjalanan menuju kawah Bromo itu.

*** 

Aku ingat baik-baik tentang doaku saat bintang jatuh melintas di langit malam itu. ‘Dekatkanlah kami (aku dan kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami ketika terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’. Dan kutahu kini semuanya itu seperti kenyataan yang pahit. Saat jarak terbentang diantara kita, namun selalu ada kesempatan yang mempertemukan kita kembali. Saat hatiku begitu hangat dan bahagia ketika membayangkan hal-hal indah bersamamu, namun terasa begitu kelu saat kita dipertemukan. Saat kutahu bahwa aku harus membuka hati kepada orang lain, namun hatiku seperti terikat erat kepadamu. Dan aku hanya bisa pasrah, bertahan hingga saat ini, di hari ke 4433.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar