Bogor, 23 Juni 2013, 19:00 WIB
Dari atas bukit ini aku bisa
melihat super moon dengan cukup jelas. Bulan purnama dengan ukuran yang
terlihat lebih besar dan terang benderang. Kusandarkan daguku pada kedua
lututku sementara kedua lenganku merangkul lututku dengan nyaman. Kupandangi fenomena
alam ini dengan senyum sumringah, aku tahu kamu disana juga sedang menikmati
pemandangan ini. Dari tempat yang tinggi tanpa terbiaskan oleh pendar lampu
kota.
Malam ini terlalu sempurna bahkan
tanpa kehadiranmupun masih begitu terasa memikat. Sesekali kupejamkan kedua
kelopak mataku, kubayangkan kamu disana juga tersenyum kepada wajah purnama yang
kau tatap lekat. Tubuhku seperti dijalari perasaan hangat seketika ini. Ahh,
malam yang begitu indah ini, mengingatkanku akan malam yang kita lewati saat
belia dulu. Malam yang sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda
karena saat itu purnama sedang bersembunyi.
Tentang malam itu, tanggal yang
sama dengan hari ini, 23 Juni pada 12 tahun yang lalu. Saat untuk pertama
kalinya kita berpergian bersama. Saat aku sedang dimabuk cinta kepadamu, cinta
diam-diam. Saat awal-awal aku begitu kasmaran kepadamu. Apakah kamu
mengingatnya? Tentang tenda yang kita dirikan di tebing yang membentengi gunung
Bromo. Tentang langit gelap yang bertaburan bintang. Tentang malam dingin yang
kita hangatkan dengan secercah api unggun. Kenangan yang terlalu lekat untuk
terkikis waktu.
Bromo ketika itu. Indah sekali. Salah
satu malam terindah yang pernah kulewati. Cukup dengan menutup mata, maka aku
akan bisa kembali melihat hamparan langit luas bertabur bintang itu. Kumpulan
kabut putih yang menyelimuti lautan pasir di bawah tebing. Angin gunung yang
berhembus tanpa ampun. Ataupun wajahmu yang terpantul cahaya api unggun.
Dari sudut tempat dudukku itu,
aku memandangmu. Menyebrangi api di depanku dan menemukan matamu yang bercahaya
di ujung sana. Mencuri-curi pandang kepadamu. Tertunduk dengan sangat cepat
ketika matamu menemukan pandanganku. Dan bisa kurasakan pipiku meremang
setelahnya. Ahhh, kenapa kamu selalu tampak memukau seperti itu.
Ingatkah kamu, saat kamu
membantuku membawakan kayu bakar saat tiba giliranku untuk membawanya padahal
saat itu seharusnya giliran teman yang lain untuk membawanya. Tapi kamu dengan spontan
meminta untuk menggantikan teman tersebut. Kamu berjalan di depanku dengan
memegang erat tali yang melilit kayu bakar itu. Sesekali kamu menoleh
kebelakang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Aku merasakan semua gesture kecilmu itu sebagai kepingan
perasaanmu yang tak sanggup kau katakan.
Ingatkah kamu, saat aku sibuk
membuat makan malam, mie instant yang kurebus di dalam panci dan kamu dengan
serta merta datang menghampiriku hanya untuk sekedar membantu. Tapi aku malah
menolak pertolonganmu itu dan mengusirmu agar bergabung saja dengan teman-teman
yang lain.
Ingatkah kamu, saat kita duduk
bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut sana, di
hadapanku, memegang gitar kesayangmu dan memainkannya dengan suka-cita. Kamu dengan
sweater abu-abu hitam berhiaskan 3 motif wajik di dada. Wajahmu yang tampak
serius menikmati semua melody yang kau mainkan. Ataupun seringaimu yang
terlihat tipis kala ada seorang teman yang fals menyanyikan nada lagu itu.
Ingatkah kamu, dengan
bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam. Mereka tampak seperti
jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Sekali terlihat bintang jatuh
melintas. Aku memejamkan mataku dan membuat permohonan, ‘dekatkanlah kami (aku
dan kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami
ketika terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’
Ingatkah kamu, dengan kabut beku
yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar kayu. Kabut yang
naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus cepat ketika
mencapai bibir tebing. Aku tergigil. Kutahu bola matamu memperhatikanku ketika
itu.
Ingatkah kamu, saat perlahan api
unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini sebenarnya
sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Kamu hanya mondar
mandir kesana kemari, bingung mencari tempat untuk merebahkan badan. Sekalinya kamu
terbaring, badanmu melengkung rapat saat dingin semakin mengerat tulang.
Ingatkah kamu , saat malam beku
itu terasa begitu panjang karena kita susah sekali untuk memejamkan mata. Hingga
ketika lelah menjadi sangat keterlaluan, badan kita rebah tanpa perlawanan. Mata
kita tertutup dengan sendirinya.
Ingatkah kamu, saat pagi
menjelang. Beberapa teman berkeinginan untuk turun tebing dan berjalan menuju
kawah Bromo. Aku mengikuti rombongan itu, tapi kamu tidak. Aku kecewa karena
kamu tidak turut serta. Namun kucoba untuk tetap menikmati perjalanan menuju
kawah Bromo itu.
***
Aku ingat baik-baik tentang doaku
saat bintang jatuh melintas di langit malam itu. ‘Dekatkanlah kami (aku dan
kamu) ketika jauh, bahagiakanlah kami ketika gundah, pertemukanlah kami ketika
terpisah, ikatlah kami untuk selamanya’. Dan kutahu kini semuanya itu seperti
kenyataan yang pahit. Saat jarak terbentang diantara kita, namun selalu ada
kesempatan yang mempertemukan kita kembali. Saat hatiku begitu hangat dan
bahagia ketika membayangkan hal-hal indah bersamamu, namun terasa begitu kelu
saat kita dipertemukan. Saat kutahu bahwa aku harus membuka hati kepada orang
lain, namun hatiku seperti terikat erat kepadamu. Dan aku hanya bisa pasrah,
bertahan hingga saat ini, di hari ke 4433.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar