Selasa, 25 Juni 2013

Sanguine -8-


Minggu pagi, 23 Juni 2013, Simpang Macan – Kersik Tuo

Pemandangan pagi ini menakjubkan, mengobati lelah karena perjalanan panjang 211 km dalam waktu kurang lebih 6 jam. Matahari terbit dengan anggun dibalik bukit barisan, di depannya terhampar rimbun hijau perkebunan teh. Langit fajar berhias awan yang berarak-arak seperti kapas tipis terbang melayang-layang di angkasa. Segera saja kuabadikan apa yang kulihat saat ini dan ku perlihatkan kepada kawan-kawanku, lebih tepatnya aku ingin memperlihatkannya kepada dia yang meminta oleh-oleh foto sunrise yang ciamik. 

Subuh tadi aku berpamitan kepada kawan-kawanku, memohon doa restu agar pendakianku kali ini berjalan dengan lancar dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Pendakian yang sudah kunantikan sejak lama. Salah satu mimpiku yang sebentar lagi akan kuwujudkan. Menemui 3805 mdpl, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Rasanya bahagia dan cemas yang meletup-letup dalam hatiku membuat adrenalinku meningkat berkali-kali lipat. Aku akan melalui sedikitnya 12 jam perjalanan untuk sampai ke Puncak, melewati 6 pos utama. Dari pintu rimba, pos 1, pos 2, pos 3, shelter 1, shelter 2, shelter 3 dan akhirnya puncak utama.

Kakiku sudah menjejak di pintu rimba dan akan segera memulai pendakian. Bersama kawan-kawanku, kami berdoa sejenak, memohon perlindungan dan keselamatan selama perjalanan kami nanti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam hati aku memohon agar kamu disana juga mendoakanku tanpa jeda. 

Aku langkahkan kakiku untuk mengarungi rimba pegunungan ini yang cukup rapat. Akan butuh waktu 8 hingga 9 jam untuk mencapai shelter 3. Tetap optimis, aku yakin sanggup menakhlukkan puncak utama sesuai prediksi waktu yang kami tentukan. Pendakian ini terasa sangat berat karena kondisi jalan yang terjal dan rapatnya vegetasi sepanjang jalan. Pada setiap pos aku berhenti untuk beristirahat sejenak dan mencari sumber air. Memasuki shelter 2 udara terasa semakin dingin, air disini juga terasa agak pahit juga agak kotor karena berasal dari hujan dan kabut tebal yang disaring oleh pohon. 

Aku tiba di shelter 3 saat matahari sudah condong ke barat. Setelah melepas lelah kami segera mendirikan tenda untuk bermalam. Dari sini hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menuju puncak utama. Kami akan menuju puncak utama saat menjelang subuh nanti, karena di pagi hari biasanya puncak utama bebas awan dan kabut yang menutupi pemandangan. Kalau harus mendaki di siang hari,  matahari sangat menyengat dan bisa membakar kulit dalam waktu yg singkat karena sudah tidak ada pohon tinggi. Kami mempersiapkan senter juga persiapan yang lain untuk pendakian ke puncak nanti. Medan yang akan kami tempuh nanti berupa bebatuaan, kerikil dan juga pasir yang semuanya sudah bercampur. Summit attack disana nanti lumayan berat namun juga mengasikan dan bagus pemandangannya.

Mega tampak keemasan di langit barat, menutup hari yang melelahkan ini dengan sempurna. Tak berselang lama ketika langit menggelap, dari ujung timur terlihat supermoon yang menawan. Bulan purnama dengan ukuran yang terlihat lebih besar dan terang benderang. Aku seperti mendapatkan 2 jackpot sekaligus. Malam ini akan menjadi malamku yang sempurna, kamu disana juga dapat melihat fenomena alam yang indah ini kan? Andai saja aku bisa mengirimkan foto senja dan bulan terbit ini kepadamu saat ini.

Malam kian beranjak, dingin semakin menyergap. Alam tak lagi gulita, cahaya berderang dari purnama meneranginya. Malam ini terlalu sempurna bahkan tanpa kehadiranmupun masih begitu terasa memikat. Seperti malam yang kita lewati di Bromo dulu, malam yang sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda karena saat itu adalah bulan mati.

Seperti kebetulan saja, aku berada di pegunungan, sama seperti malam itu, 23 Juni 2001. Ketika kita berkemah di bromo dengan kawan-kawan satu kelas. Kita outing setelah ujian kenaikkan kelas. Dan aku senang sekali saat kamu bersedia turut serta dalam acara itu. Hari itu menjadi saat pertama kita berpergian bersama. 47 hari pertama sejak aku jatuh hati kepadamu. Seakan hari itu adalah hadiah terindah buatku. Apakah kamu mengingat semua yang kita lewati kala itu?

Aku ingat saat tiba giliranmu untuk membawa kayu bakar berpasangan dengan teman yang lain. namun aku tak ingin kamu dibantu oleh teman itu, harus aku yang membantumu. Jadi aku meminta kepadanya untuk membawa kayu bakar itu bersamamu walaupun aku sudah menjalankan giliranku sebelumnya. Aku berjalan dihadapanmu dan berkali-kali aku menoleh kebelakang untuk memastikan kamu baik-baik saja. Ataupun meminta tali pegangan kayu itu agar kamu geser sedikit ke depan biar kamu tidak berat. Dari gesture kecil ini, aku berusaha untuk memberikan perhatian kepadamu, dari bahasa yang hanya bisa kumengerti

Aku juga ingat ketika malam tiba dan kamu sibuk membuat makan malam, mie instant yang kau rebus di dalam panci. Aku dengan serta merta datang menghampirimu hanya untuk sekedar membantu. Tapi kamu malah menolak pertolonganku dan mengusirku agar bergabung saja dengan teman-teman yang lain. Aku merasa kecewa ketika itu.

Aku ingat saat kita duduk bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut sana, di hadapanku, menyanyi dengan riang bersama yang lain. Kamu dengan syal warna jambu dan kupluk merah. Wajahmu yang tampak bersinar bermandikan cahaya api. Dari sudut ini, aku memainkan gitar kesayanganku dengan riang. Dan menemukan matamu yang mencuri-curi pandang kepadaku. Lalu kamupun tertunduk dengan sangat cepat dan pipiku tampak memerah setelahnya.

Aku ingat dengan kabut beku yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar kayu. Kabut yang naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus cepat ketika mencapai bibir tebing. Kamu  tergigil. Tapi aku hanya bisa memandang tanpa tahu harus berbuat apa.

Aku ingat saat perlahan api unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini sebenarnya sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Aku berjalan hilir mudik untuk mengusir beku dan bingung harus tidur dimana. Tenda yang kita pasang ternyata penuh dengan air embun. Akhirnya aku memutuskan berbaring di sebelah api unggun, melengkungkan badanku yang seperti beku.

Aku ingat benar dengan bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam itu. Mereka tampak seperti jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Lalu sebuah bintang jatuh melintas. Aku begitu takjub melihatnya. Dalam hati kupanjatkan doa, ‘abadikanlah apa yang kurasakan kepadanya, jangan pernah jauhkan kami, ikatlah kami untuk selamanya’.

Bodohnya aku kenapa harus berdoa seperti itu. Seharusnya aku meminta sesuatu yang lebih pasti. Sekarang ini jadi seperti kenyataan pahit. Aku tetap tidak bisa pindah kelain hati, selalu mencintanya namun tak jua berani mengungkapkannya.

Ya Tuhan, terima kasih sudah menghiburku dengan pemandangan yang indah malam ini. Mungkin jika tanpa hal-hal seperti ini, aku tidak akan bisa mengingat dengan jelas pada setiap kenangan yang kualami. 12 tahun lebih aku hidup di dalamnya. Mendamaikkan hatiku dengan menapaki puncak-puncak gunungmu seperti sekarang ini. Kuatkan aku hingga saat itu tiba. Saat aku memintanya menjadi milikku.

Dan yang kuperlukan hanya 2 jam lagi untuk sampai kepada mimpiku. Akan kuabadikan fajar yang paling indah untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar