Minggu pagi, 23 Juni 2013, Simpang Macan – Kersik Tuo
Pemandangan pagi ini menakjubkan,
mengobati lelah karena perjalanan panjang 211 km dalam waktu kurang lebih 6
jam. Matahari terbit dengan anggun dibalik bukit barisan, di depannya terhampar
rimbun hijau perkebunan teh. Langit fajar berhias awan yang berarak-arak
seperti kapas tipis terbang melayang-layang di angkasa. Segera saja kuabadikan apa
yang kulihat saat ini dan ku perlihatkan kepada kawan-kawanku, lebih tepatnya
aku ingin memperlihatkannya kepada dia yang meminta oleh-oleh foto sunrise yang ciamik.
Subuh tadi aku berpamitan kepada
kawan-kawanku, memohon doa restu agar pendakianku kali ini berjalan dengan lancar
dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Pendakian yang sudah kunantikan sejak
lama. Salah satu mimpiku yang sebentar lagi akan kuwujudkan. Menemui 3805 mdpl,
gunung berapi tertinggi di Indonesia. Rasanya bahagia dan cemas yang
meletup-letup dalam hatiku membuat adrenalinku meningkat berkali-kali lipat. Aku
akan melalui sedikitnya 12 jam perjalanan untuk sampai ke Puncak, melewati 6
pos utama. Dari pintu rimba, pos 1, pos 2, pos 3, shelter 1, shelter 2, shelter
3 dan akhirnya puncak utama.
Kakiku sudah menjejak di pintu rimba
dan akan segera memulai pendakian. Bersama kawan-kawanku, kami berdoa sejenak,
memohon perlindungan dan keselamatan selama perjalanan kami nanti kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Dalam hati aku memohon agar kamu disana juga mendoakanku tanpa
jeda.
Aku langkahkan kakiku untuk
mengarungi rimba pegunungan ini yang cukup rapat. Akan butuh waktu 8 hingga 9
jam untuk mencapai shelter 3. Tetap optimis, aku yakin sanggup menakhlukkan
puncak utama sesuai prediksi waktu yang kami tentukan. Pendakian ini terasa
sangat berat karena kondisi jalan yang terjal dan rapatnya vegetasi sepanjang jalan. Pada setiap pos aku berhenti untuk
beristirahat sejenak dan mencari sumber air. Memasuki shelter 2 udara terasa
semakin dingin, air disini juga terasa agak pahit juga agak kotor karena
berasal dari hujan dan kabut tebal yang disaring oleh pohon.
Aku tiba di shelter 3 saat
matahari sudah condong ke barat. Setelah melepas lelah kami segera mendirikan
tenda untuk bermalam. Dari sini hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk
menuju puncak utama. Kami akan menuju puncak utama saat menjelang subuh nanti, karena
di pagi hari biasanya puncak utama bebas awan dan kabut yang menutupi
pemandangan. Kalau harus mendaki di siang hari, matahari sangat menyengat dan bisa membakar kulit
dalam waktu yg singkat karena sudah tidak ada pohon tinggi. Kami mempersiapkan
senter juga persiapan yang lain untuk pendakian ke puncak nanti. Medan yang
akan kami tempuh nanti berupa bebatuaan, kerikil dan juga pasir yang semuanya
sudah bercampur. Summit attack disana
nanti lumayan berat namun juga mengasikan dan bagus pemandangannya.
Mega tampak keemasan di langit
barat, menutup hari yang melelahkan ini dengan sempurna. Tak berselang lama
ketika langit menggelap, dari ujung timur terlihat supermoon yang menawan. Bulan
purnama dengan ukuran yang terlihat lebih besar dan terang benderang. Aku seperti
mendapatkan 2 jackpot sekaligus. Malam
ini akan menjadi malamku yang sempurna, kamu disana juga dapat melihat fenomena
alam yang indah ini kan? Andai saja aku bisa mengirimkan foto senja dan bulan
terbit ini kepadamu saat ini.
Malam kian beranjak, dingin
semakin menyergap. Alam tak lagi gulita, cahaya berderang dari purnama
meneranginya. Malam ini terlalu sempurna bahkan tanpa kehadiranmupun masih
begitu terasa memikat. Seperti malam yang kita lewati di Bromo dulu, malam yang
sama dengan hari ini, hanya langitnya yang berbeda karena saat itu adalah bulan
mati.
Seperti kebetulan saja, aku
berada di pegunungan, sama seperti malam itu, 23 Juni 2001. Ketika kita
berkemah di bromo dengan kawan-kawan satu kelas. Kita outing setelah ujian kenaikkan kelas. Dan aku senang sekali saat
kamu bersedia turut serta dalam acara itu. Hari itu menjadi saat pertama kita
berpergian bersama. 47 hari pertama sejak aku jatuh hati kepadamu. Seakan hari
itu adalah hadiah terindah buatku. Apakah kamu mengingat semua yang kita lewati
kala itu?
Aku ingat saat tiba
giliranmu untuk membawa kayu bakar berpasangan dengan teman yang lain. namun
aku tak ingin kamu dibantu oleh teman itu, harus aku yang membantumu. Jadi aku
meminta kepadanya untuk membawa kayu bakar itu bersamamu walaupun aku sudah
menjalankan giliranku sebelumnya. Aku berjalan dihadapanmu dan berkali-kali aku
menoleh kebelakang untuk memastikan kamu baik-baik saja. Ataupun meminta tali
pegangan kayu itu agar kamu geser sedikit ke depan biar kamu tidak berat. Dari gesture kecil ini, aku berusaha untuk
memberikan perhatian kepadamu, dari bahasa yang hanya bisa kumengerti
Aku juga ingat
ketika malam tiba dan kamu sibuk membuat makan malam, mie instant yang kau rebus
di dalam panci. Aku dengan serta merta datang menghampirimu hanya untuk sekedar
membantu. Tapi kamu malah menolak pertolonganku dan mengusirku agar bergabung
saja dengan teman-teman yang lain. Aku merasa kecewa ketika itu.
Aku ingat saat
kita duduk bersama melingkari api unggun dan bernyanyi bersama. Kau ada disudut
sana, di hadapanku, menyanyi dengan riang bersama yang lain. Kamu dengan syal
warna jambu dan kupluk merah. Wajahmu yang tampak bersinar bermandikan cahaya
api. Dari sudut ini, aku memainkan gitar kesayanganku dengan riang. Dan menemukan
matamu yang mencuri-curi pandang kepadaku. Lalu kamupun tertunduk dengan sangat
cepat dan pipiku tampak memerah setelahnya.
Aku ingat dengan
kabut beku yang serta merta menerjang wajah kita, meliukkan api yang membakar
kayu. Kabut yang naik perlahan dari lautan pasir di bawah sana. Lalu terhembus
cepat ketika mencapai bibir tebing. Kamu tergigil. Tapi aku hanya bisa memandang tanpa
tahu harus berbuat apa.
Aku ingat saat
perlahan api unggun itu memadam. Saat dingin mulai menusuk kulit. Saat mata ini
sebenarnya sudah mengantuk, namun dingin membuat kita sukar tidur. Aku berjalan
hilir mudik untuk mengusir beku dan bingung harus tidur dimana. Tenda yang kita
pasang ternyata penuh dengan air embun. Akhirnya aku memutuskan berbaring di
sebelah api unggun, melengkungkan badanku yang seperti beku.
Aku ingat benar dengan
bintang-bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam itu. Mereka tampak
seperti jutaan berlian yang ditaburkan begitu saja. Lalu sebuah bintang jatuh
melintas. Aku begitu takjub melihatnya. Dalam hati kupanjatkan doa, ‘abadikanlah
apa yang kurasakan kepadanya, jangan pernah jauhkan kami, ikatlah kami untuk
selamanya’.
Bodohnya aku kenapa harus berdoa
seperti itu. Seharusnya aku meminta sesuatu yang lebih pasti. Sekarang ini jadi
seperti kenyataan pahit. Aku tetap tidak bisa pindah kelain hati, selalu
mencintanya namun tak jua berani mengungkapkannya.
Ya Tuhan, terima kasih sudah menghiburku
dengan pemandangan yang indah malam ini. Mungkin jika tanpa hal-hal seperti ini, aku
tidak akan bisa mengingat dengan jelas pada setiap kenangan yang kualami. 12
tahun lebih aku hidup di dalamnya. Mendamaikkan hatiku dengan menapaki
puncak-puncak gunungmu seperti sekarang ini. Kuatkan aku hingga saat itu tiba. Saat
aku memintanya menjadi milikku.
Dan yang kuperlukan hanya 2 jam lagi
untuk sampai kepada mimpiku. Akan kuabadikan fajar yang paling indah untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar