Pagi buta saat mataku masih lelap
dan tubuhku hangat dibalut selimut tiba-tiba di buyarkan oleh ketukkan sedikit
keras dipintu kamarku. Siapa pula pagi-pagi buta begini sudah membangunkan
orang dari tidurnya yang nyenyak. Sedikit malas aku bergerak membuka kunci
pintu tanpa terlebih dahulu menanyakan siapa orang yang mengetuk pintu
tersebut. Begitu pintu terbuka, seseorang itu langsung menerobos masuk tanpa
permisi.
Aku berdiri kaku seperti
tersihir. Mataku tidak salah lihat kan? Dia ada di dalam kamarku di pagi buta
seperti ini. Datang tanpa diundang, mengetuk pintu tanpa berkata. Hanya beberapa
detik, sebelum dia membuyarkan pandangan kosongku. ‘Buruan cuci muka, gak usah
mandi. Aku bereskan bajumu, 5 menit lagi kita berangkat, paspormu disimpen
dimana?’. Dia berkata nyaris tanpa dosa, membuatku terbengong seperti kerbau. ‘Kok
malah diem,’. ‘Eh iya, pasporku ada di laci lemari pakaian’. ‘Buruan ke kamar
mandi’. ‘Iya’, aku terburu-buru masuk ke kamar mandi.
Kebasuh mukaku cepat-cepat, sikat
gigi, beres. Keluar dari kamar mandi, dia sudah menungguku di depan pintu. ‘Pakai
baju ini saja’. Dia menyodorkan kaos dan celana panjang ke arahku. ‘3 menit yah, gak
pake lama, aku tunggu di ruang tamu’. Dan diapun pergi keluar kamar dengan
membawa tas ranselku. Kupakai kaos dan celana itu dengan serampangan. Sedikit ngerapiin
rambut dengan kuikat seadanya, pasang sepatu, dan aku menyusulnya ke ruang tamu.
Rupanya taxi sudah menunggu di
depan pintu pagar. Dia menyuruhku untuk segera ke depan dan masuk ke dalam
taxi. Perjalananpun dimulai.
‘Mau kemana kita?’ aku bertanya
dengan ragu. ‘Nanti kamu akan tahu sendiri, lebih baik kamu lanjutin dulu
tidurmu sebentar, nanti kita sholat subuh di airport saja’ dia menjawabku
dengan lugas. ‘hmmm, oke,’ aku hanya bisa pasrah menuruti perintahnya. Dan sepanjang
perjalanan ke airport aku terlelap. Namun itu hanya terasa seperti sekian detik ketika kurasa pipiku ada yang menyentuh, ‘Ayo bangun, sudah sampai’ dia mengelus
wajahku. ‘kita langsung ke check-in
counter, mumpung belum terlalu ramai’.
Terminal 2 Bandara International
ini tampak sedikit lenggang, padahal penerbangan perdana pagi ini schedulenya
tampak padat. Dia bergegas menuju check-in
counter, menunjukkan tiket kepada petugas, kemudian membayar airport tax. Aku tersenyum melihat
tujuan penerbangan kami yang tertera di atas check-in counter, tertulis disana ‘Phuket’.
***
Segar angin pantai memasukki
ruangan kamar hotel. Bau garam menyeruak diantara ruangan ini. Di ujung horizon
langit tampak memerah, air laut berkilat-kilat keemasan. Senja memoles hari ini
dengan sempurna. Dia masih terbaring nyenyak di atas tempat tidur sejak kembali
dari makan siang tadi. Mataku mengantuk, namun tidak bisa kupejamkan. Aku memilih
untuk duduk di balkon kamar dan menerawang memandang pantai bersih dan laut
lepas. Ada yang bergejolak di dalam benakku. Mengingat semua perkataannya tadi
pagi.
***
Pagi masih menggeliat ketika aku
tiba di Phuket. Dari bandara, kami langsung menuju ke hotel. Dia tetap tidak
banyak bicara. Duduk diam di dalam mobil dengan mata tertutup kacamata gelap. Nafasnya terhembus perlahan, tenang sekali. Dalam hati aku sirik sekali dengan dia,
bahkan dalam situasi seperti inipun dia bisa begitu tenangnya.
Hanya 15 menit perjalanan dari
bandara ke hotel, jalanan sangat bersahabat pagi ini. Hotel ini tampak sedap di
pandang. Rimbun pepohonan menghiasi halaman depannya. Bunga beraneka warna
tampak menghiasi setiap sudut ruangan. Pegawai hotelnya juga ramah sekali. Di ujung
belakang hotel tampak pantai dengan air laut membiru. Membuatku semakin jatuh
cinta dengan tempat ini.
‘Kita langsung sarapan saja ya,
aku sudah lapar’ dia berkata kepadaku dan langsung berjalan menuju restaurant
yang ada di dekat pantai. Aku hanya mengikutinya dari belakang. Sepertinya aku
tidak berbicara sepatah katapun dari berangkat tadi pagi, kecuali saat
berbasa-basi dengan orang imigrasi. Diam rupanya tidak berpengaruh pada daya
simpan energi, aku juga merasa lapar sekali sekarang.
Perut kenyang, mata ngantuk,
sempurna. Kamar hotel ini juga cukup nyaman. Tanpa diperintahpun, begitu masuk
kamar aku langsung nyusruk ke tempat tidur dan langsung pules sekali jadi. Dia juga
ikut nyusruk ketempat tidur, tidur terlelap disebelahku tanpa banyak bicara.
***
Jam 11 tepat, matahari sudah
lumayan tinggi. Debur ombak terdengar bersahutan diluar sana. Aku terbangun
saat terasa ada yang menyentuh pipiku.
‘Maaf sudah membangunkanmu
pagi-pagi buta. Menculikmu dengan terburu-buru. Aku hanya ingin berbicara
kepadamu, secara pribadi. Sengaja aku memilih tempat ini sebagai tujuan. Aku tidak
merasa nyaman jika harus berada di Jakarta. Hal ini terlalu tertutup untuk
dibicarakan di Jakarta’.
Aku mendengarnya dengan sabar
tanpa menyela sedikitpun. Matanya menatap mataku tanpa jeda. Kulihat pupil
matanya membesar ketika berbicara kepadaku. Kalian tahu apa artinya jika pupil
seseorang membesar ketika dia berbicara dengan seseorang di hadapannya? Dia sedang
jatuh cinta, dia sedang berbicara dengan orang yang sangat dicintainya.
‘Aku merasa sekarang waktunya
sudah tepat. Aku sudah siap’. Dia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan
kata-katanya.
‘Aku ingin hal ini hanya menjadi
milik kita berdua, bukan orang lain. sudah terlalu lama aku menimbang-nimbang. Ragu
dengan apa yang sudah melekat di hati juga pikiranku sejak pertama kali kita
bertemu. Aku terlalu naïf. Takut dengan pendapat dan pandangan publik. Dan sejak
itu aku memulai membuat jarak denganmu. Aku mengacuhkanmu. Namun tak pernah
sekalipun aku mengabaikanmu, hanya saja aku melakukannya seperti mata-mata. Memperhatikanmu
dari jauh. Menjagamu dari jauh.’
‘Aku bisa bertahan dan cukup
tenang hingga sekarang karena aku merasa tidak pernah kehilanganmu. Walaupun kita
terpisah semenjak akhir sekolah dulu. Tapi aku bisa sangat yakin jika kamu
tidak pernah berhenti mencintaiku.’
Sampai disitu aku seperti ingin
protes. Gila saja nie orang, pede sekali dia bilang aku tidak pernah berhenti
mencintainya. Yah walaupun pada kenyataannya memang demikian. Tapi kan gak fair
banget, sementara dia bisa tenang, aku seperti cacing kepanasan selama
bertahun-tahun. Bermimpi dalam ketidak-pastian. Berkali-kali berusaha untuk
membuka hati dengan mencoba mencintai orang lain. dan selamat, pada akhirnya
selalu gagal.
‘Maafin aku yang sudah membuatmu
menanti terlalu lama, maafin aku yang tidak bisa mengapreasikan perasaanku
dengan baik. Maafin aku yang tidak pandai memilih kata. Maafin aku yang selalu
membuatmu kecewa setiap kali kita bertemu. Maafin aku yang tidak peka dengan
maksud dan bahasamu. Bertahun-tahun aku mememdam, melihatmu dari jauh, meratapi
kebodohanku karena ego yang tidak bisa kukalahkan ketika itu.’
‘Karena kamu, aku bisa terus
hidup. Bisa semangat menahan tekanan apapun. Cukup dengan membaca semua tweetmu, membaca perasaanmu kepadaku. Aku
merasa hidupku masih utuh, impianku masih benderang. Hampir setiap hari selama
bertahun-tahun itu aku belajar tentangmu. Belajar tentang apa saja yang
membuatmu senang, yang membuatmu tertawa, yang membuatku nyaman,.. yang
membuatmu sedih. Tapi sejujurnya aku tidak pernah benar-benar tahu harus
berbuat apa kepadamu. Jadi tolong ajari aku, bersabarlah terhadapku. Jangan lelah
mencintaiku.’
‘Aku tidak ingin kehilanganmu,
untuk saat ini ataupun seterusnya.’
Dia menatapku sendu,
menyunggingkan senyumnya, membelai wajahku dan mengelus lembut rambutku sebelum
akhirnya mengalungkan lengannya di leherku. Mendekapku perlahan dan menaruh
kepalaku di dadanya. Aku merasakan hangat yang lembut menjalari wajah dan
tubuhku, nyaman sekali. Saat ini aku tak harus berkata apa-apa. Hanya diam di
dalam dekapannya.
***
Senja tak lagi merah. Hampir separuh
langit sudah menghitam. Apa ini hanya mimpi. Bertahun-tahun aku hidup dalam bayang
semu. Kini seperti fajar yang benderang. Tabir itu sudah tersibak. Dia yang
kucinta sudah disini, tertidur lelap seperti bayi. Seperti tak percaya,
keyakinanku terwujud dengan sendirinya. Aku tak pernah meragukannya karena aku
tahu hatinya untukku, jauh sebelum hari ini. Dan mungkin untuk tujuan hari ini,
aku tidak pernah berhasil membuat ikatan dengan seorangpun yang lain.
‘Hanya untuk menyampaikan semua ini
kamu harus membawaku sejauh ini, terima kasih, aku tidak tahu harus berkata
apa. Tidak butuh banyak alasan untuk mencintaimu dan mempertahankannya sampai
saat ini, karena cinta itu datang dengan sendirinya, mengakar di dalam hatiku
tanpa kuminta. Tumbuh dengan subur tanpa kurawat, dan pada waktu yang tepat
cinta itu berbuah manis karena keyakinan yang tertanam di dalamnya. Aku milikmu,
untuk saat ini, untuk esok dan untuk selamanya.’
Bisikku di telinganya, dan
kulihat senyum tipisnya terkembang dengan mata tetap terpejam.
fffffffffhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
BalasHapus