Rabu, 12 Juni 2013

Raka,


Pagi buta saat mataku masih lelap dan tubuhku hangat dibalut selimut tiba-tiba di buyarkan oleh ketukkan sedikit keras dipintu kamarku. Siapa pula pagi-pagi buta begini sudah membangunkan orang dari tidurnya yang nyenyak. Sedikit malas aku bergerak membuka kunci pintu tanpa terlebih dahulu menanyakan siapa orang yang mengetuk pintu tersebut. Begitu pintu terbuka, seseorang itu langsung menerobos masuk tanpa permisi.

Aku berdiri kaku seperti tersihir. Mataku tidak salah lihat kan? Dia ada di dalam kamarku di pagi buta seperti ini. Datang tanpa diundang, mengetuk pintu tanpa berkata. Hanya beberapa detik, sebelum dia membuyarkan pandangan kosongku. ‘Buruan cuci muka, gak usah mandi. Aku bereskan bajumu, 5 menit lagi kita berangkat, paspormu disimpen dimana?’. Dia berkata nyaris tanpa dosa, membuatku terbengong seperti kerbau. ‘Kok malah diem,’. ‘Eh iya, pasporku ada di laci lemari pakaian’. ‘Buruan ke kamar mandi’. ‘Iya’, aku terburu-buru masuk ke kamar mandi.

Kebasuh mukaku cepat-cepat, sikat gigi, beres. Keluar dari kamar mandi, dia sudah menungguku di depan pintu. ‘Pakai baju ini saja’. Dia menyodorkan kaos dan celana panjang ke arahku. ‘3 menit yah, gak pake lama, aku tunggu di ruang tamu’. Dan diapun pergi keluar kamar dengan membawa tas ranselku. Kupakai kaos dan celana itu dengan serampangan. Sedikit ngerapiin rambut dengan kuikat seadanya, pasang sepatu, dan aku menyusulnya ke ruang tamu.

Rupanya taxi sudah menunggu di depan pintu pagar. Dia menyuruhku untuk segera ke depan dan masuk ke dalam taxi. Perjalananpun dimulai. 

‘Mau kemana kita?’ aku bertanya dengan ragu. ‘Nanti kamu akan tahu sendiri, lebih baik kamu lanjutin dulu tidurmu sebentar, nanti kita sholat subuh di airport saja’ dia menjawabku dengan lugas. ‘hmmm, oke,’ aku hanya bisa pasrah menuruti perintahnya. Dan sepanjang perjalanan ke airport aku terlelap. Namun itu hanya terasa seperti sekian detik ketika kurasa pipiku ada yang menyentuh, ‘Ayo bangun, sudah sampai’ dia mengelus wajahku. ‘kita langsung ke check-in counter, mumpung belum terlalu ramai’. 

Terminal 2 Bandara International ini tampak sedikit lenggang, padahal penerbangan perdana pagi ini schedulenya tampak padat. Dia bergegas menuju check-in counter, menunjukkan tiket kepada petugas, kemudian membayar airport tax. Aku tersenyum melihat tujuan penerbangan kami yang tertera di atas check-in counter, tertulis disana ‘Phuket’.

***

Segar angin pantai memasukki ruangan kamar hotel. Bau garam menyeruak diantara ruangan ini. Di ujung horizon langit tampak memerah, air laut berkilat-kilat keemasan. Senja memoles hari ini dengan sempurna. Dia masih terbaring nyenyak di atas tempat tidur sejak kembali dari makan siang tadi. Mataku mengantuk, namun tidak bisa kupejamkan. Aku memilih untuk duduk di balkon kamar dan menerawang memandang pantai bersih dan laut lepas. Ada yang bergejolak di dalam benakku. Mengingat semua perkataannya tadi pagi.

***

Pagi masih menggeliat ketika aku tiba di Phuket. Dari bandara, kami langsung menuju ke hotel. Dia tetap tidak banyak bicara. Duduk diam di dalam mobil dengan mata tertutup kacamata gelap. Nafasnya terhembus perlahan, tenang sekali. Dalam hati aku sirik sekali dengan dia, bahkan dalam situasi seperti inipun dia bisa begitu tenangnya. 

Hanya 15 menit perjalanan dari bandara ke hotel, jalanan sangat bersahabat pagi ini. Hotel ini tampak sedap di pandang. Rimbun pepohonan menghiasi halaman depannya. Bunga beraneka warna tampak menghiasi setiap sudut ruangan. Pegawai hotelnya juga ramah sekali. Di ujung belakang hotel tampak pantai dengan air laut membiru. Membuatku semakin jatuh cinta dengan tempat ini.

‘Kita langsung sarapan saja ya, aku sudah lapar’ dia berkata kepadaku dan langsung berjalan menuju restaurant yang ada di dekat pantai. Aku hanya mengikutinya dari belakang. Sepertinya aku tidak berbicara sepatah katapun dari berangkat tadi pagi, kecuali saat berbasa-basi dengan orang imigrasi. Diam rupanya tidak berpengaruh pada daya simpan energi, aku juga merasa lapar sekali sekarang.

Perut kenyang, mata ngantuk, sempurna. Kamar hotel ini juga cukup nyaman. Tanpa diperintahpun, begitu masuk kamar aku langsung nyusruk ke tempat tidur dan langsung pules sekali jadi. Dia juga ikut nyusruk ketempat tidur, tidur terlelap disebelahku tanpa banyak bicara.

***

Jam 11 tepat, matahari sudah lumayan tinggi. Debur ombak terdengar bersahutan diluar sana. Aku terbangun saat terasa ada yang menyentuh pipiku.

‘Maaf sudah membangunkanmu pagi-pagi buta. Menculikmu dengan terburu-buru. Aku hanya ingin berbicara kepadamu, secara pribadi. Sengaja aku memilih tempat ini sebagai tujuan. Aku tidak merasa nyaman jika harus berada di Jakarta. Hal ini terlalu tertutup untuk dibicarakan di Jakarta’.

Aku mendengarnya dengan sabar tanpa menyela sedikitpun. Matanya menatap mataku tanpa jeda. Kulihat pupil matanya membesar ketika berbicara kepadaku. Kalian tahu apa artinya jika pupil seseorang membesar ketika dia berbicara dengan seseorang di hadapannya? Dia sedang jatuh cinta, dia sedang berbicara dengan orang yang sangat dicintainya.

‘Aku merasa sekarang waktunya sudah tepat. Aku sudah siap’. Dia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.

‘Aku ingin hal ini hanya menjadi milik kita berdua, bukan orang lain. sudah terlalu lama aku menimbang-nimbang. Ragu dengan apa yang sudah melekat di hati juga pikiranku sejak pertama kali kita bertemu. Aku terlalu naïf. Takut dengan pendapat dan pandangan publik. Dan sejak itu aku memulai membuat jarak denganmu. Aku mengacuhkanmu. Namun tak pernah sekalipun aku mengabaikanmu, hanya saja aku melakukannya seperti mata-mata. Memperhatikanmu dari jauh. Menjagamu dari jauh.’

‘Aku bisa bertahan dan cukup tenang hingga sekarang karena aku merasa tidak pernah kehilanganmu. Walaupun kita terpisah semenjak akhir sekolah dulu. Tapi aku bisa sangat yakin jika kamu tidak pernah berhenti mencintaiku.’ 

Sampai disitu aku seperti ingin protes. Gila saja nie orang, pede sekali dia bilang aku tidak pernah berhenti mencintainya. Yah walaupun pada kenyataannya memang demikian. Tapi kan gak fair banget, sementara dia bisa tenang, aku seperti cacing kepanasan selama bertahun-tahun. Bermimpi dalam ketidak-pastian. Berkali-kali berusaha untuk membuka hati dengan mencoba mencintai orang lain. dan selamat, pada akhirnya selalu gagal. 

‘Maafin aku yang sudah membuatmu menanti terlalu lama, maafin aku yang tidak bisa mengapreasikan perasaanku dengan baik. Maafin aku yang tidak pandai memilih kata. Maafin aku yang selalu membuatmu kecewa setiap kali kita bertemu. Maafin aku yang tidak peka dengan maksud dan bahasamu. Bertahun-tahun aku mememdam, melihatmu dari jauh, meratapi kebodohanku karena ego yang tidak bisa kukalahkan ketika itu.’

‘Karena kamu, aku bisa terus hidup. Bisa semangat menahan tekanan apapun. Cukup dengan membaca semua tweetmu, membaca perasaanmu kepadaku. Aku merasa hidupku masih utuh, impianku masih benderang. Hampir setiap hari selama bertahun-tahun itu aku belajar tentangmu. Belajar tentang apa saja yang membuatmu senang, yang membuatmu tertawa, yang membuatku nyaman,.. yang membuatmu sedih. Tapi sejujurnya aku tidak pernah benar-benar tahu harus berbuat apa kepadamu. Jadi tolong ajari aku, bersabarlah terhadapku. Jangan lelah mencintaiku.’

‘Aku tidak ingin kehilanganmu, untuk saat ini ataupun seterusnya.’

Dia menatapku sendu, menyunggingkan senyumnya, membelai wajahku dan mengelus lembut rambutku sebelum akhirnya mengalungkan lengannya di leherku. Mendekapku perlahan dan menaruh kepalaku di dadanya. Aku merasakan hangat yang lembut menjalari wajah dan tubuhku, nyaman sekali. Saat ini aku tak harus berkata apa-apa. Hanya diam di dalam dekapannya. 

***

Senja tak lagi merah. Hampir separuh langit sudah menghitam. Apa ini hanya mimpi. Bertahun-tahun aku hidup dalam bayang semu. Kini seperti fajar yang benderang. Tabir itu sudah tersibak. Dia yang kucinta sudah disini, tertidur lelap seperti bayi. Seperti tak percaya, keyakinanku terwujud dengan sendirinya. Aku tak pernah meragukannya karena aku tahu hatinya untukku, jauh sebelum hari ini. Dan mungkin untuk tujuan hari ini, aku tidak pernah berhasil membuat ikatan dengan seorangpun yang lain.

‘Hanya untuk menyampaikan semua ini kamu harus membawaku sejauh ini, terima kasih, aku tidak tahu harus berkata apa. Tidak butuh banyak alasan untuk mencintaimu dan mempertahankannya sampai saat ini, karena cinta itu datang dengan sendirinya, mengakar di dalam hatiku tanpa kuminta. Tumbuh dengan subur tanpa kurawat, dan pada waktu yang tepat cinta itu berbuah manis karena keyakinan yang tertanam di dalamnya. Aku milikmu, untuk saat ini, untuk esok dan untuk selamanya.’

Bisikku di telinganya, dan kulihat senyum tipisnya terkembang dengan mata tetap terpejam.

1 komentar: