5
Juli 2013, hari ke 4444
Kuntum Edelweiss jawa (Anaphalis Javanica) sudah lama mekar dan hingga kini masih saja abadi. Tak pernah kusam,
tak jua layu. Semburat kuning pudar menghiasi bagian tengah bunga dan dilingkari
kelopak berwarna putih. Sedap dipandang, indah untuk dikenang.
Disinikah tempat terbaik untuk menemukanmu, di ketinggian 2.750 mdpl,
di sebelah timur Gunung Gede yang tersohor, di sela kabut dan berkas sinar
mentari. Di tempat yang mereka sebut alun-alun surya kencana. Kamu terhampar
begitu saja, luas membentang seperti selimut wool putih kusam yang hangat. Kususuri
jalan setapak yang membelah padang. Menjejak kakiku di tengah rimbunmu. Langkahku
terhenti ketika angin semilir menyapa wajahku dari sebelah kanan. Kupejamkan
kedua mataku dan kurentangkan tanganku lebar. Wangimu menyeruak, memenuhi udara
yang kuhirup dan kularutkan begitu dalam ke rongga paruku.
Dengan mata terpejam, kubayangkan sosok itu berdiri di ujung setapak.
Dia berdiri kaku, memegang syal marun di tangan kanannya. Wajahnya menatap
lurus kepadaku. Matanya sayu. Sinar mentari pagi menerangi wajahnya dari
sebelah kiri, membingkainya dengan indah. Sesekali angin memainkan ujung baju
hangatnya. Dia masih terdiam menatapku. Ketika kubuka mataku, aku hanya
menemukan rimbun edelweiss yang bergoyang di hembus angin.
Kurebahkan badanku di atas rumput, di tengah padang edelweiss ini. Sayup
kudengarkan lantunan lagu sendu itu dari pemutar musikku.
Tak ada hari tanpa bayang
wajahmu
Mengapa dirimu yang selalu
hadir di benakku
Getar hatiku memanggil namamu
Tanpa kusadari air mata ini
bergulir
Saatku bernyanyi
Kala ku melangkah
Ku selalu memikirkanmu
Mungkin kah ku juga ada di
hatimu
Mungkin kah kau menangis
mengingatku
Mungkin kah kau pun memendam
perih
Dan tenggelam dalam kerinduan
Seringkali ku berpura tertawa
Laksana boneka yang tersenyum
paksa tersiksa
Kala kuberlari
Saat kumelamun
Kau memenuhi hatiku
Tak seorang pun tahu
Ku tersenyum bukan bahagia
Karna memang tak mungkin
tanpamu
Jujur saja ku tak mungkin, mencoba
hidup tanpamu, ku menangis lagi
Tanpa kusadari airmataku meleleh tanpa bisa kubendung. Membasahi pipi
dan pelipisku. Bibirku bergetar menahan tangis. Jemariku semakin erat
menggenggam rumput hingga tercerabut. Kubiarkan airmata ini tumpah berlinang,
meleburkan sesak dalam isak dan getir tangis. Wajahmu tergenang disana. Dengan mata
sayu dan bibir terkatup. Terpisah jauh dari jangkauanku.
Dalam tangis aku teringat akan kata-kata Anton
Chekov ‘Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan atau kegagalan’. Aku
tak harus berpikir saat ini, yang kubutuhkan hanya melepaskan semua beban yang
menggelayotiku. Membiarkannya menyublim dan lebur. Saat cinta yang kurasa ini
tulus, maka aku tak harus merasa menjadi pemenang atapun pecundang.
Kaupun sudah memilih. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu. Tidak menyangsikan
dengan pilihanmu. Siapapun dia, dia adalah pilihanmu. Jika bagimu baik, maka
aku anggap itu baik. Aku tidak akan merasa kehilanganmu. Kamu akan selalu
menjadi separuh jiwaku. Tetap berada ditempatnya, tidak pernah pergi.
Kamu pernah bilang tentang edelweiss. Dia yang tercipta abadi, yang
hanya mekar di udara beku. Mungkin seperti itulah kita. Rasa yang ada di dalam
jiwa ini mekar dalam kebekuan dan selalu hidup dalam keabadian. Hanya mampu
untuk kita pandang tanpa berhasrat untuk kita petik.
Kamu tahu aku tak pernah pergi. Kita hidup di dunia yang sama. Hanya saja
kita selalu berseberangan. Sekali waktu kita bisa berpapasan. Saat itu senyummu
selalu terkembang. Saat kau melintas, kedua tanganmu kau rentangkan, tersenyum
dengan tulus. Dalam diam kau coba membisikkan setiap kata hatimu melalui sorot
matamu.
Sekalinya aku pernah mencoba untuk mengulurkan tangan ketika kita akan
berpapasan. Tapi justru perih itu seketika menjalari seluruh sendi tubuhku,
senyummupun pupus. Kau pandang aku dengan kelu. Menyadari kekeliruanku. Menyesali
apa yang telah kulakukan. Harusnya aku tetap diam, tetap bisu, hanya berbicara
denganmu melalui sorot mata.
Sejak itu kau menghilang. Mewarisiku dengan bayangan yang kureka-reka
sendiri. Kadang aku menemukanmu dalam mimpi yang indah. Kadang aku menemukanmu
dalam keramaian. Kadang aku menemukanmu dalam pantulan air. Namun aku tidak
pernah menemukanmu dalam kenyataan.
Aku bisa mendengar tapak kakimu mensejajari langkah kakiku yang
tergesa-gesa. Atau aku bisa mendengar merdu suaramu memanggil namaku diantara desir
angin. Kulihat sorot mata sayumu diantara senja yang memerah. Bisa kurasakan
belai lembutmu ketika air hujan merembesi kulit tubuhku. Atau ketika aku
tertidur pulas, kurasakan lenganmu melingkar di pinggangku.
Aku seperti hidup dalam dunia yang sangat lain. dunia yang seolah
kuciptakan sendiri untukku. Dunia yang abadi, seperti edelweiss.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar