Selasa, 09 Juli 2013

Edelweiss


5 Juli 2013, hari ke 4444
Kuntum Edelweiss jawa (Anaphalis Javanica) sudah lama mekar dan hingga kini masih saja abadi. Tak pernah kusam, tak jua layu. Semburat kuning pudar menghiasi bagian tengah bunga dan dilingkari kelopak berwarna putih. Sedap dipandang, indah untuk dikenang.
Disinikah tempat terbaik untuk menemukanmu, di ketinggian 2.750 mdpl, di sebelah timur Gunung Gede yang tersohor, di sela kabut dan berkas sinar mentari. Di tempat yang mereka sebut alun-alun surya kencana. Kamu terhampar begitu saja, luas membentang seperti selimut wool putih kusam yang hangat. Kususuri jalan setapak yang membelah padang. Menjejak kakiku di tengah rimbunmu. Langkahku terhenti ketika angin semilir menyapa wajahku dari sebelah kanan. Kupejamkan kedua mataku dan kurentangkan tanganku lebar. Wangimu menyeruak, memenuhi udara yang kuhirup dan kularutkan begitu dalam ke rongga paruku.
Dengan mata terpejam, kubayangkan sosok itu berdiri di ujung setapak. Dia berdiri kaku, memegang syal marun di tangan kanannya. Wajahnya menatap lurus kepadaku. Matanya sayu. Sinar mentari pagi menerangi wajahnya dari sebelah kiri, membingkainya dengan indah. Sesekali angin memainkan ujung baju hangatnya. Dia masih terdiam menatapku. Ketika kubuka mataku, aku hanya menemukan rimbun edelweiss yang bergoyang di hembus angin.
Kurebahkan badanku di atas rumput, di tengah padang edelweiss ini. Sayup kudengarkan lantunan lagu sendu itu dari pemutar musikku.
Tak ada hari tanpa bayang wajahmu
Mengapa dirimu yang selalu hadir di benakku
Getar hatiku memanggil namamu
Tanpa kusadari air mata ini bergulir
Saatku bernyanyi
Kala ku melangkah
Ku selalu memikirkanmu
Mungkin kah ku juga ada di hatimu
Mungkin kah kau menangis mengingatku
Mungkin kah kau pun memendam perih
Dan tenggelam dalam kerinduan
Seringkali ku berpura tertawa
Laksana boneka yang tersenyum paksa tersiksa
Kala kuberlari
Saat kumelamun
Kau memenuhi hatiku
Tak seorang pun tahu
Ku tersenyum bukan bahagia
Karna memang tak mungkin tanpamu
Jujur saja ku tak mungkin, mencoba hidup tanpamu, ku menangis lagi
Tanpa kusadari airmataku meleleh tanpa bisa kubendung. Membasahi pipi dan pelipisku. Bibirku bergetar menahan tangis. Jemariku semakin erat menggenggam rumput hingga tercerabut. Kubiarkan airmata ini tumpah berlinang, meleburkan sesak dalam isak dan getir tangis. Wajahmu tergenang disana. Dengan mata sayu dan bibir terkatup. Terpisah jauh dari jangkauanku.
Dalam tangis aku teringat akan kata-kata Anton Chekov ‘Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan atau kegagalan’. Aku tak harus berpikir saat ini, yang kubutuhkan hanya melepaskan semua beban yang menggelayotiku. Membiarkannya menyublim dan lebur. Saat cinta yang kurasa ini tulus, maka aku tak harus merasa menjadi pemenang atapun pecundang.
Kaupun sudah memilih. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu. Tidak menyangsikan dengan pilihanmu. Siapapun dia, dia adalah pilihanmu. Jika bagimu baik, maka aku anggap itu baik. Aku tidak akan merasa kehilanganmu. Kamu akan selalu menjadi separuh jiwaku. Tetap berada ditempatnya, tidak pernah pergi.
Kamu pernah bilang tentang edelweiss. Dia yang tercipta abadi, yang hanya mekar di udara beku. Mungkin seperti itulah kita. Rasa yang ada di dalam jiwa ini mekar dalam kebekuan dan selalu hidup dalam keabadian. Hanya mampu untuk kita pandang tanpa berhasrat untuk kita petik.
Kamu tahu aku tak pernah pergi. Kita hidup di dunia yang sama. Hanya saja kita selalu berseberangan. Sekali waktu kita bisa berpapasan. Saat itu senyummu selalu terkembang. Saat kau melintas, kedua tanganmu kau rentangkan, tersenyum dengan tulus. Dalam diam kau coba membisikkan setiap kata hatimu melalui sorot matamu.
Sekalinya aku pernah mencoba untuk mengulurkan tangan ketika kita akan berpapasan. Tapi justru perih itu seketika menjalari seluruh sendi tubuhku, senyummupun pupus. Kau pandang aku dengan kelu. Menyadari kekeliruanku. Menyesali apa yang telah kulakukan. Harusnya aku tetap diam, tetap bisu, hanya berbicara denganmu melalui sorot mata.
Sejak itu kau menghilang. Mewarisiku dengan bayangan yang kureka-reka sendiri. Kadang aku menemukanmu dalam mimpi yang indah. Kadang aku menemukanmu dalam keramaian. Kadang aku menemukanmu dalam pantulan air. Namun aku tidak pernah menemukanmu dalam kenyataan.
Aku bisa mendengar tapak kakimu mensejajari langkah kakiku yang tergesa-gesa. Atau aku bisa mendengar merdu suaramu memanggil namaku diantara desir angin. Kulihat sorot mata sayumu diantara senja yang memerah. Bisa kurasakan belai lembutmu ketika air hujan merembesi kulit tubuhku. Atau ketika aku tertidur pulas, kurasakan lenganmu melingkar di pinggangku.
Aku seperti hidup dalam dunia yang sangat lain. dunia yang seolah kuciptakan sendiri untukku. Dunia yang abadi, seperti edelweiss.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar