Selasa, 02 Juli 2013

Kerudung Kuning


Apakah kamu memahami dejavu? Kata dari Bahasa Perancis yang berarti ‘telah melihat’. 

Hujan mengguyur jalanan taman ini dengan sangat deras. Sebagian banyak orang yang terjebak hujan terlihat mengumpul di tempat-tempat yang ternaungi. Sebagian dari mereka menatapku heran, sebagian lagi cuek bebek dengan kehadiranku. Kakiku tetap melangkah, membelah jalanan yang membelah taman ini. Tubuhku basah kuyup tanpa terlindung dari guyuran air hujan. Aku tetap melaju. Membiarkan tetes-tetes air dingin ini menerpa wajahku. ‘Begini lebih baik’, airmataku tersembunyi diantara tetesan air hujan. Aku menangis bersama hujan.

***

Berita itu datang seperti kilatan petir, sesaat namun membuat bulu kuduk berdiri ngeri, aku ketakutan. Sebuat potret yang mendadak muncul di account social mediamu tanpa diharapkan. Kau bersanding dengan seorang berkerudung kuning. Membuat mata, hati dan semua tubuhku merasa nyeri. Mataku seperti mengabur, Kesempatan dan harapan yang selama ini kuanggap masih ada, tiba-tiba musnah begitu saja. Aku merasa kehilangan daya, lumpuh tak bisa tegak. 

Siapakah dia?

Logika dan perasaanku terlalu kompulsif. Saat mengetahui banyak fakta tentang siapa-siapa yang begitu tergila-gila kepadamu. Aku seperti melihat drama telenovela di televisi. Sesekali ku tertawakan kebodohan dan kegilaan mereka sedangkan tanpa kusadari, sebenarnya aku juga salah satu dari mereka. Lalu sesaat ketika aku berbalik dari televisi itu dan tanpa sengaja mendapati wajahku yang terpantul dari dalam cermin di hadapanku. Disana hanya kulihat bayangan keledai yang bersolek seperti manusia. Apa istimewanya aku? Apa lebihku dari mereka? Jika pada kenyataannya aku ini sama saja dengan siapa-siapa yang kulihat dalam drama di televisi itu, bahkan aku menertawakan mereka, sama saja aku menertawakan diriku sendiri.

Bahkan pupil matamu yang membesar itupun tak yakin hanya aku saja yang melihatnya. Mereka semua mungkin juga melihat. Atau hanya berpura-pura melihat. Kalau saja aku bisa memerdekakan logika dan juga perasaan sebagai 2 individu yang hidup bebas. Aku akan melihat kemana mereka memilih hidupnya. Tidak lagi mengurung diri di dalam kabut. Dan kala cahaya datang, yang mereka bisa hanya menghayalkan warna-warni dari cahaya yang terbias.

Kepalaku terasa berdenyut-denyut. Mataku sayu menatap kedua ujung sepatuku. Aku tertegun. Seperti inikah rasanya kembali patah hati. Aku melewatinya beberapa Tahun lalu, namun kini kembali terjadi. Patah hati kepadamu, untuk kedua kalinya. Dulu aku sanggup berbesar hati, hendak melepasmu dengan seorang yang akan menjadi tulang rusukmu. Dan semua itu terbayar lunas ketika hubunganmu itu kandas. Aku merasa lega, merasa harapanku masih ada, kesempatanku masih terbuka. Tapi kini semua seperti terenggut, dan sakitnya jauh berkali-kali lipat.

Aku mengingatnya. Potret pertamamu dengan seseorang yang kandas dulu. Dengan lokasi yang mirip, dengan pose yang sama, dan seseorang itu dengan kerudung yang berwarna sama, kuning. Sebegitu besarkah cintamu pada seseorang yang kandas itu, hingga saat kamu menginginkan yang berikutnya, kamu berusaha untuk memilih yang setidaknya hampir sama. Lalu mengapa kamu melepaskan yang sebelumnya jika kamu mengharapkan yang sama seperti dia.

Aku seperti putus asa. Mendapati cinta yang kuharapkan tak jua kudapatkan. Lalu aku harus bagaimana. Seseorang pernah berkata kepadaku, ‘impian harus terus dikejar meski harus bersusah payah. Kamu tak akan mendapatkan apapun jika kamu terus berdiam diri’. Aku sudah cukup berusaha, namun aku tidak tahu apakah usahaku itu sudah cukup keras atau belum. Ada beberapa hal yang membuatku tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Aku takut. Aku ragu.

Tak cukupkah semua doa yang kupanjatkan setiap saat. Hanya namamu yang kusebut dalam doaku. Merintih kepada Tuhan agar aku diperkenankan berjodoh denganmu. Meski sakit, aku bertahan. Tak sedikit kau pernah menyakiti hatiku. Namun aku masih sanggup berdiri, aku sanggup memaafkanmu. Dimataku kamu asih terlihat begitu memukau. Mungkin aku sudah terlalu membutakan mataku. Melihatmu lebih dari apa yang sebenarnya aku harapkan sebagai imamku. Padahal sejujurnya aku jauh menurunkan standard kriteria itu hanya karena aku mampu berkompromi dengan hatiku yang telah memilihmu.

Peristiwa demi peristiwa yang pernah kualami bersamamu seperti vitamin alami yang menanamkan cinta dan menyuburkannya di dalam hatiku. Cintaku itu datang karena aku terbiasa mendapatkan perlakuan yang istimewa darimu. Namun aku tak pernah berani untuk memulainya. Aku mencintaimu diam-diam, menumpuk rasa ini hingga menggunung. Setiap waktu yang kuhabiskan bersamamu terasa lebih berarti. Salahkah aku jika mencintaimu berlebihan karena semua yang pernah aku lewati ketika bersamamu.

Setiap perhatianmu itu. Setiap hal kecil yang sentimental itu. Setiap senyum yang kau perlihatkan untukku itu. Bagaimana aku bisa melupakannya. Sementara kamu masih juga terlihat disekitaran. Dan akupun juga enggan untuk menjauh darimu. Tak sedikit yang menginginkanku untuk segera melepaskan semua ini, mencari yang baru, memulai hidup dengan lebih baik. Aku belum ikhlas, aku belum siap.

Badanku masih terduduk kaku di kursi taman ini. langit semakin gelap. Rintik hujan mulai turun. Tetesan pertama jatuh di atas pipi kananku. Selintas dingin menelusup ke dalam kulit. Hatiku bergetar. Tanpa bisa kubendung, air mataku merembes satu demi satu. Hujanpun berjatuhan kian deras, menghujam rambut dan badanku. Mendinginkan bara yang tersulut di dalam hatiku. Aku porak poranda.

Kupaksa tubuhku untuk bangkit dari kursi nyaman ini. berjalan perlahan membelah hujan menuju pohon flamboyant di ujung bukit. Kubiarkan airmataku mengalir deras, berpacu dengan tetes hujan yang berebut membaurkan diri di atas kulit wajahku. Sesekali angin kencang mengirimkan dingin yang menusuk tulang. Tolong aku Tuhan.

***

Kerudung kuning itu, kuning. Warna yang mengingatkanku akan bunga matahari. Sesuatu yang tampak atraktif dan menarik. Seperti itukah kriteria yang kamu inginkan, yang mencuri perhatianmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar