Apakah kamu memahami dejavu? Kata dari Bahasa Perancis yang berarti ‘telah
melihat’.
Hujan mengguyur jalanan taman ini
dengan sangat deras. Sebagian banyak orang yang terjebak hujan terlihat
mengumpul di tempat-tempat yang ternaungi. Sebagian dari mereka menatapku
heran, sebagian lagi cuek bebek dengan kehadiranku. Kakiku tetap melangkah,
membelah jalanan yang membelah taman ini. Tubuhku basah kuyup tanpa terlindung
dari guyuran air hujan. Aku tetap melaju. Membiarkan tetes-tetes air dingin ini
menerpa wajahku. ‘Begini lebih baik’, airmataku tersembunyi diantara tetesan air
hujan. Aku menangis bersama hujan.
***
Berita itu datang seperti kilatan
petir, sesaat namun membuat bulu kuduk berdiri ngeri, aku ketakutan. Sebuat potret
yang mendadak muncul di account social mediamu
tanpa diharapkan. Kau bersanding dengan seorang berkerudung kuning. Membuat mata,
hati dan semua tubuhku merasa nyeri. Mataku seperti mengabur, Kesempatan dan
harapan yang selama ini kuanggap masih ada, tiba-tiba musnah begitu saja. Aku merasa
kehilangan daya, lumpuh tak bisa tegak.
Siapakah dia?
Logika dan perasaanku terlalu
kompulsif. Saat mengetahui banyak fakta tentang siapa-siapa yang begitu
tergila-gila kepadamu. Aku seperti melihat drama telenovela di televisi. Sesekali
ku tertawakan kebodohan dan kegilaan mereka sedangkan tanpa kusadari,
sebenarnya aku juga salah satu dari mereka. Lalu sesaat ketika aku berbalik
dari televisi itu dan tanpa sengaja mendapati wajahku yang terpantul dari dalam
cermin di hadapanku. Disana hanya kulihat bayangan keledai yang bersolek
seperti manusia. Apa istimewanya aku? Apa lebihku dari mereka? Jika pada
kenyataannya aku ini sama saja dengan siapa-siapa yang kulihat dalam drama di televisi
itu, bahkan aku menertawakan mereka, sama saja aku menertawakan diriku sendiri.
Bahkan pupil matamu yang membesar
itupun tak yakin hanya aku saja yang melihatnya. Mereka semua mungkin juga
melihat. Atau hanya berpura-pura melihat. Kalau saja aku bisa memerdekakan
logika dan juga perasaan sebagai 2 individu yang hidup bebas. Aku akan melihat
kemana mereka memilih hidupnya. Tidak lagi mengurung diri di dalam kabut. Dan kala
cahaya datang, yang mereka bisa hanya menghayalkan warna-warni dari cahaya yang
terbias.
Kepalaku terasa berdenyut-denyut.
Mataku sayu menatap kedua ujung sepatuku. Aku tertegun. Seperti inikah rasanya
kembali patah hati. Aku melewatinya beberapa Tahun lalu, namun kini kembali
terjadi. Patah hati kepadamu, untuk kedua kalinya. Dulu aku sanggup berbesar
hati, hendak melepasmu dengan seorang yang akan menjadi tulang rusukmu. Dan semua
itu terbayar lunas ketika hubunganmu itu kandas. Aku merasa lega, merasa
harapanku masih ada, kesempatanku masih terbuka. Tapi kini semua seperti
terenggut, dan sakitnya jauh berkali-kali lipat.
Aku mengingatnya. Potret pertamamu
dengan seseorang yang kandas dulu. Dengan lokasi yang mirip, dengan pose yang sama, dan seseorang itu dengan
kerudung yang berwarna sama, kuning. Sebegitu besarkah cintamu pada seseorang
yang kandas itu, hingga saat kamu menginginkan yang berikutnya, kamu berusaha
untuk memilih yang setidaknya hampir sama. Lalu mengapa kamu melepaskan yang
sebelumnya jika kamu mengharapkan yang sama seperti dia.
Aku seperti putus asa. Mendapati cinta
yang kuharapkan tak jua kudapatkan. Lalu aku harus bagaimana. Seseorang pernah
berkata kepadaku, ‘impian harus terus dikejar meski harus bersusah payah. Kamu tak
akan mendapatkan apapun jika kamu terus berdiam diri’. Aku sudah cukup
berusaha, namun aku tidak tahu apakah usahaku itu sudah cukup keras atau belum.
Ada beberapa hal yang membuatku tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Aku takut.
Aku ragu.
Tak cukupkah semua doa yang
kupanjatkan setiap saat. Hanya namamu yang kusebut dalam doaku. Merintih kepada
Tuhan agar aku diperkenankan berjodoh denganmu. Meski sakit, aku bertahan. Tak sedikit
kau pernah menyakiti hatiku. Namun aku masih sanggup berdiri, aku sanggup
memaafkanmu. Dimataku kamu asih terlihat begitu memukau. Mungkin aku sudah
terlalu membutakan mataku. Melihatmu lebih dari apa yang sebenarnya aku
harapkan sebagai imamku. Padahal sejujurnya aku jauh menurunkan standard
kriteria itu hanya karena aku mampu berkompromi dengan hatiku yang telah
memilihmu.
Peristiwa demi peristiwa yang
pernah kualami bersamamu seperti vitamin alami yang menanamkan cinta dan
menyuburkannya di dalam hatiku. Cintaku itu datang karena aku terbiasa mendapatkan
perlakuan yang istimewa darimu. Namun aku tak pernah berani untuk memulainya. Aku
mencintaimu diam-diam, menumpuk rasa ini hingga menggunung. Setiap waktu yang
kuhabiskan bersamamu terasa lebih berarti. Salahkah aku jika mencintaimu
berlebihan karena semua yang pernah aku lewati ketika bersamamu.
Setiap perhatianmu itu. Setiap
hal kecil yang sentimental itu. Setiap senyum yang kau perlihatkan untukku itu.
Bagaimana aku bisa melupakannya. Sementara kamu masih juga terlihat
disekitaran. Dan akupun juga enggan untuk menjauh darimu. Tak sedikit yang
menginginkanku untuk segera melepaskan semua ini, mencari yang baru, memulai
hidup dengan lebih baik. Aku belum ikhlas, aku belum siap.
Badanku masih terduduk kaku di
kursi taman ini. langit semakin gelap. Rintik hujan mulai turun. Tetesan pertama
jatuh di atas pipi kananku. Selintas dingin menelusup ke dalam kulit. Hatiku bergetar.
Tanpa bisa kubendung, air mataku merembes satu demi satu. Hujanpun berjatuhan
kian deras, menghujam rambut dan badanku. Mendinginkan bara yang tersulut di
dalam hatiku. Aku porak poranda.
Kupaksa tubuhku untuk bangkit
dari kursi nyaman ini. berjalan perlahan membelah hujan menuju pohon flamboyant
di ujung bukit. Kubiarkan airmataku mengalir deras, berpacu dengan tetes hujan
yang berebut membaurkan diri di atas kulit wajahku. Sesekali angin kencang
mengirimkan dingin yang menusuk tulang. Tolong aku Tuhan.
***
Kerudung kuning itu, kuning. Warna
yang mengingatkanku akan bunga matahari. Sesuatu yang tampak atraktif dan
menarik. Seperti itukah kriteria yang kamu inginkan, yang mencuri perhatianmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar