Sahabat itu tak lekang dimakan
waktu. Orang bijak bilang seperti itu kepadaku dulu. Mau terpisah jarak dan
waktu, sahabat selalu bisa memberi kehangatan dan perhatian. Saat tidak ada
seorangpun yang merindukanmu, sahabat akan selalu setia menanti kabar darimu. Begitulah
sahabat, ada untuk saling menguatkan dan berbagi keramahan.
Tersebutlah seorang perempuan
cantik (hmmm gak secantik Miranda Kerr sie, tapi bagaimanapun juga dia itu
cantik, karena dia perempuan) yang memiliki pribadi ramah (a.k.a rajin
menjamah) baik hatinya (sebaik pak pos yang setia mengantarkan wessel untuk pensiunan)
imut (untuk ini saya gak akan comment apapun) bijaksana (sebijaksana Resi Mpu
Gandring, bisa bikin keris) lengket sama emaknya namun tak berpotensi
untuk terkontaminasi ataupun kadaluarsa (hehehehee..). Namanya Vina Kurniawati.
Vina berasal dari bahasa latin yang
berarti perempuan atau anugerah (nama ini memang dikhususkan untuk bayi
perempuan) sedangkan Kurniawati berasal
dari bahasa Arab yang berarti pemberian. Jadi makna Vina Kurniawati bisa dipahami sebagai bayi perempuan anugerah dari
Sang Maha Kuasa. Sedikit banyak seperti itulah ya.. (gak boleh protes)
Pertemuan pertama dengannya
sekitar hampir 13 tahun lalu. Kala itu dia masih remaja yang polos hatinya
(nyuri liriknya Panbers – Geraja Tua).
Dia warga kelas sebelah yang suaranya kadang riuh rendah bersaing dengan bel sekolah
(atau lebih tepatnya bisa dikatakan sirine
ambulan). Rambutnya legam, matanya besar lebar, alisnya serupa semut
beriring, tingginya tak lebih daripada bahuku (kira-kira segitulah). Namun aku
hanya sekedar mengenalnya sebagai siswa kelas sebelah dan tak banyak tahu
tentang dirinya.
2 tahun setelah pertemuan itu,
dia bertransformasi (jangan membayangkan dia akan berubah menjadi power ranger ataupun sailormoon) menjadi mak lampir, ehh
bukan.. dia menjadi seperti yang sebelumnya, hehehehe.. (gak jelas blass). Maksudku
dia tetap menjadi Vina yang apa adanya. Suaranya selalu renyah dan riang
seperti biasanya. Sepertinya aku mengalami kedekatan mental dengannya. Dari sekedar
kenal lama-lama menjadi pertemanan lalu menjadi sahabat. Persis kayak proses
metamorfosis kupu-kupu (mari kita bernyanyi.. persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu).
Dalam rentang waktu masa-masa di
sekolah itu, sedikit banyak aku jadi mengenal karakternya. Bahkan aku juga bisa
melihat dengan jelas dia sedang jatuh cinta kepada siapa saat itu (ingat waktu
main ke rumah *panggil saja Rain*,.. hehehhee.. waktu kami beramai-ramai jenguk
Rain yang lagi sakit.. Cuma dia yang energinya paling membuncah diantara
rombongan itu. Wajahnya sumringah, suaranya ringan, matanya bercahaya. Saat itu
pula aku bisa mengambil kesimpulan, jika Rainlah orang yang sudah mengambil
hatinya). Boleh dibilang jika kamu sakit maka aku akan bisa merasakan sakitnya,
atau jika kamu bahagia aku juga bisa ikut merasa bahagia.
Akhir masa SMA menjadi moment
pemisah aku dengannya. Aku ke timur dan dia ke barat. Kami hanya bertemu
sesekali jika lebaran datang. Lingkungan baru membuat aku dan juga dia tampak
sedikit berbeda, tapi kami tetaplah orang yang sama. Satu dua cerita kami perbicangkan
saat mempunyai waktu untuk bersua. Dan pertanyaan wajib yg sering aku ungkapkan
ke dia adalah ‘apa kabar Rain?’. Biasanya dia akan jawab dengan tersenyum lalu
bisa berlanjut dengan cerita atau terkadang malah di alihkan dengan obrolan
yang lain.
Setelah hampir 4 tahun kami tidak
berkomunikasi lagi. Tuhan mempertemukanku kembali dengannya. Pertemuan di media
social. Tak banyak yang kutahu dengan kisah hidupnya selama kami terpisah
sekian tahun itu. Dan setelah komunikasi terjalin dengan lancer maka
bergulirlah semua cerita itu. Tentang 11 Maret 2011, tentang prestasi
menulisnya, tentang pekerjaannya, juga tentang sesuatu yang istimewa lainnya. Rasanya
seperti menemukan cermin besar ketika aku dipertemukan kembali dengannya.
Berkat dia, aku kembali terpacu untuk menulis. Karyanya senantiasa melenakkanku. Entah itu cerpen atau sekedar cerita sehari-hari. Ahhh, gadis riang itu telah menemukan benang merah dalam hidupnya. Menulis lebih sebagai panggilan jiwa untuknya.
Berkat dia, aku kembali terpacu untuk menulis. Karyanya senantiasa melenakkanku. Entah itu cerpen atau sekedar cerita sehari-hari. Ahhh, gadis riang itu telah menemukan benang merah dalam hidupnya. Menulis lebih sebagai panggilan jiwa untuknya.
Dia yang kurindu kini kembali. Gadis
Kopi ku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar