Pertengahan April di 2003
Terik matahari seperti menguapkan semua cairan tubuhku
hingga aku merasa dehidrasi. Siang ini panasnya kelewatan. Aku sedikit melenguh
ketika melihat langit begitu cerah tanpa awan.
Bel pulang sekolah sudah berdering hampir 30 menit yang lalu,
namun aku masih bertahan di kelasku. Kupikir lebih baik aku sholat dhuhur di
sekolah terlebih dahulu baru aku pulang setelahnya. Tak banyak siswa yang
tersisa di sekolahku. Mushola juga terlihat sedikit lenggang.
Kurapikan isi tasku dan beranjak meninggalkan kelas menuju
mushola. Setiba disana, aku langsung menaruh tasku di sudut mushola lalu pergi
mengambil wudhu. Wajahku terasa segar begitu air sejuk itu menyentuh kulit. Kubasuh
wajah, kedua lengan, rambut dan kedua telinga serta kedua kakiku sebagai rukun
terakhir wudhu. Aku sholat dengan tenang, menunaikannya dengan sebaik-baiknya.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang ketika aku sudah bersiap
untuk meninggalkan mushola. Kupikir aku akan pulang naik angkot saja dengan berjalan
sedikit jauh ke arah timur. Ketika melewati parkiran motor, terlihat motornya
masih terparkir rapi disana. ‘Sudah jam segini kenapa dia belum pulang?’ aku
membatin dan berlalu melanjutkan perjalananku.
Silau sekali jalanan yang kulewati, sinar matahari terlalu
tajam. Rasanya malas sekali mau jalan kaki ke ujung jalan untuk mencari angkot.
Aku baru berjalan sekitar 100 meter ketika tiba-tiba ada motor yang mendekatiku
dari belakang dan tepat berhenti disampingku. Sedikit kaget, aku menengok ke arah
pengendara motor itu. Deg!, jantungku seperti berhenti berdetak.
“Mau kemana?”
“Pulang”
“Kok sendirian, temenmu mana?”
“Oh, dia udah duluan tadi, aku sholat dulu soalnya”
“Mau bareng?”
“Gak usah, aku naik angkot saja di depan nanti”
“Udah bareng aja, panas gini. Searah juga kan,”
“Hmmm,”
“Udah ayo,”
“Ya udah, maaf jadi ngerepotin”
“Iya gak pa-pa”
Dan motornyapun melaju, sementara aku terduduk kaku di
boncengannya. Kuatur nafasku dengan baik agar aku gak grogi. Dia sendiri tampak
santai saja. Mengendarai motornya dengan lembut.
Tak seberapa jauh motornya melaju, tiba-tiba dari arah
belakang beberapa teman dekatnya mulai menyusul kami dengan motor mereka. Motor
mereka mensejajari kami. Lalu salah seorang dari mereka meledekku.
“Cieee… udah pulang bareng nie sekarang, boncengan lagi” dan
yang lainpun lalu tertawa.
Ledekan itupun semakin menjadi. Namun aku hanya
menanggapinya dengan tertawa. Kulihat wajahnya dari kaca spion. Lempeng, seolah-olah
ledekkan itu tidak ditujukan kepadanya. Tepat sebelum bahan ledekkan ini
semakin menjadi-jadi. Dia menghentikan kata-kata teman-temannya itu.
‘Ngomongin apa sih!”
Teman-temannya semakin menjadi-jadi tertawanya. Untungnya mereka
segera pamit dan mendahului kami.
Aku menghela nafas dengan lega ketika mereka pergi. Tidak
ada mimik yang berubah di wajahnya. Santai sekali. Dan sepanjang perjalanan aku
membisu. Melihat punggungnya dari belakang. Memperhatikan wajahnya dari kaca
spion. Mendengarnya bersenandung lirih. Sepertinya hatinya riang.
Ini kali pertama aku berboncengan motor dengannya. Kali pertama
aku duduk di atas motornya, Si Biru yang menawan. Hatiku seperti melambung
entah kemana. Aku tahu dia juga merasa hal yang sama. Hatinya seriang hatiku
saat ini. Bahkan dia sesekali tersenyum ketika bersenandung. Kurasa ledekkan
teman-teman tadi sepertinya tidak menggerahkan telinganya, malah membuatnya
tersipu. Ahh, kamu yang mempunyai banyak rahasia. Kenapa tak kau bagi saja
rahasiamu itu kepadaku walau hanya sedikit.
15 menit perjalanan bersamanya terasa seperti semenit. Sumpah
gak berasa banget. Mungkin karena aku terlalu gembira, hahahaha. Dia menghentikan
motornya perlahan ketika sampai di gang tempatku tinggal. Menstabilkan motornya
ketika aku turun. Dan tersenyum tipis kepadaku.
“Terima kasih”
“Sama-sama, udah ya, aku duluan”
“Iya”
Diapun berlalu tanpa menoleh lagi. Kupandangi punggung
itu sampai menghilang di ujung pengkolan. ‘Hari yang hebat’ batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar