Ahh segar sekali rasanya habis mandi. Penat dan peluh yang
menggantung di badan luruh semua bersama guyuran air. Matahari hari ini cukup
terik. Gerah yang merongrong badan seharian tadi terbayar lunas dengan guyuran
air dingin dari bak kamar mandiku. Jadi gak salah kalo sore ini aku mandi
sedikit lebih lama daripada biasanya. Berliter-liter air aku habiskan demi
mengusir gerah. Wangi segar aroma sabun mandiku menyeruak di semua penjuru
kamar. Lumayan mengusir nyamuk yang bersembunyi di pojok-pojok kamar hahahaha.
Saat sibuk berganti baju terdengar satu lagu mengalun dari
radio yang terpajang di atas meja kamarku. Lagu lawas yang dulu sangat
kugandrungi.
So lately,
I've been wondering
Who will be there to take my place
When I'm gone, you'll need love
To light the shadows on your face
If a great wave should fall
It would fall upon us all
And between the sand and stone
Could you make it on your own
If I could, then I would
I'll go wherever you will go
Way up high or down low
I'll go wherever you will go
Who will be there to take my place
When I'm gone, you'll need love
To light the shadows on your face
If a great wave should fall
It would fall upon us all
And between the sand and stone
Could you make it on your own
If I could, then I would
I'll go wherever you will go
Way up high or down low
I'll go wherever you will go
Lagu dari The Calling –
Wherever you will go. Dulu aku pernah menyanyikannya bersama Bandku saat
kelas 3 SMA di acara hiburan MOS adik kelas 1. Bukan tanpa alas an dulu aku
memilih lagu ini untuk kunyanyikan. Dan bukan tanpa alas an pula kenapa aku
sampe rela untuk menyanyi di depan umum seperti itu. padahal aku paling anti
jika harus menyanyi di depan umum seperti itu. Takut nggak bisa mengontrol
grogi.
Saat itu keberanikan diri dengan mengambil tantangan untuk
bernyanyi di depan umum. Dan kupilih lagu itu untuk kupersembahkan ke penonton.
Aku menyanyi untuk dia. Aku ingin menyampaikan pesanku kepadanya. Dan aku yakin
dia pasti bisa menangkap maksudku.
Lagu itu dulu sebagai sajak perpisahan buatku untuknya. Aku hanya
punya waktu setahun lagi untuk bisa melihatnya hampir setiap hari. Dan jika aku
punya nyali mungkin aku akan bisa melihatnya atau memilikinya untuk waktu-waktu
yang akan datang. Namun aku tidak punya keberanian sebesar itu. aku merasa
mungkin ini hanya sekedar perasaan sementara atau orang lain biasa menyebutnya cinta monyet. Jadi aku piker aku pasti
bisa segera move on dan fokus kepada
tujuan hidupku berikutnya.
Semua teori itu ternyata salah. Memilih untuk meninggalkan atau
menghapus sesuatu yang tanpa kita sadari sebenarnya sudah merasuk terlalu dalam
ternyata seperti mustahil. Di malam perpisahan sekolah aku melihatnya di sudut
ruangan bersama teman-temannya. Dia terlihat riang dan sinar matanya itu begitu
hidup. Ingin sekali aku menghampirinya dan sekedar berbincang dengannya. Tapi aku
terlalu grogi untuk melakukannya. Dan sampai akhir acarapun aku hanya bisa
melihatnya dari jauh. Hingga saat kami harus saling berjabat tangan terakhir di
akhir acara. Kudapati dia tersenyum dengan mengulurkan tangannya kepadaku tapi
mata itu. Aku sedih sekali melihat mata itu. Dia berduka, aku melihat kesedihan
yang dalam disana. Kujabat tangannya lembut dan sekedar berkata basa basi
semoga sukses.
Kuhela nafasku dengan berat. Kenapa aku begitu bodoh saat itu.
Andai saja aku punya nyali saat itu. mungkin aku tidak harus merasa sebegitu
sakit hingga saat ini. Karena perpisahan itu ternyata awal dari rasa yang
sesungguhnya. Aku tidak sekedar mengalami cinta
monyet, tapi aku jatuh cinta. Bertahun-tahun berpisah darinya ternyata
tidak melunturkan perasaanku sedikitpun kepadanya, justru semakin berkerak di
ulu hati.
Aku menyimpan semuanya sendiri. Tak ada seorangpun yang tahu
tentang perasaanku kepadanya. Dan karena inilah, aku jadi merasa sangat
menderita sekali. Aku tidak bisa sekedar berbagi cerita dengan teman-temanku
saat rindu kepadamu mulai merapuhkanku. Sebisa mungkin aku bertahan menguatkan
diri. Rasanya unek-unek ini sudah
menumpuk di kepalaku. Kadang aku menumpahkannya di atas puncak gunung. Atau di
tepian pantai yang sepi. Aku berteriak disana dengan lantang. Kukeluarkan semuanya.
Dengan begitu aku merasa sedikit lega.
Saat seperti itu, ketika aku sudah puas berteriak. Aku akan duduk
dengan tenang. Memandang jauh kepada cakrawala dan mengingat senyumnya. Mengingat
bagaimana dia dulu sangat kaku jika bertemu denganku. Mengingat bagaimana dia
ketus sekali ketika berbicara kepadaku. Mengingat bagaimana dia sangat berusaha
untuk mengontrol diri sewajar mungkin jika harus bersikap di depanku. Aku sangat
menikmati hal itu. Melihatnya grogi seperti hiburan yang mengasyikkan buatku.
Hanya orang yang benar-benar jatuh cinta yang akan begitu kaku jika bertemu
dengan orang yang dicintainya.
Dan begitu mengingat hal itu maka aku akan meneteskan air mata. Aku
yang bodoh karena tidak pernah punya nyali untuk memilikimu. Entah memang aku
yang begitu rumit atau memang jalan hidup harus dibuat serumit ini. Kegilaanku
akan puncak gunung hanya sebagai pelampiasan keputus-asaanku akan emosi yang
belum pernah bisa kuungkapkan dengan apa adanya kepadanya.
Kenapa kita harus mengalami hal seperti ini?
Aku sering bertanya-tanya sendiri. Mengapa harus aku, atau kenapa
harus dia. Keduanya bukanlah pertanyaan yang seharusnya ada jawabannya. Takdir tidak
membutuhkan persetujuan dari manusia. Tugasku hanya menjalaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar